Part 7.3

3.5K 248 1
                                    


Mereka benar-benar datang.

Seseorang memberitahu Sam kalau anak Fajar Delapan tengah menunggu di gerbang belakang gedung Andreas. Tangan Sam mengepal saat dia bergerak cepat meninggalkan kelas, melintasi lorong. Tidak lagi peduli pada sekitar bahkan nyaris tidak mendengar suara panggilan Bobi, serta derap sepatunya yang mengejar di belakang sana. Hingga Bobi meraih pundak Sam untuk menghentikannya. Sam menoleh, melihat guratan marah dalam sinar mata Bobi kala menatapnya sementara di sampingnya, Jelo terlihat mengerutkan kening. Sesuatu seperti tidak tepat pada tempatnya.

"What?" sentak Sam dengan rahang mengeras. Tidak ada maksud menantang kedua temannya itu. Hanya saja bayangan akan sosok menjengkelkan yang membuat Remi babak belur, terus mengisi kepalanya. Dan, kini Sam tidak sabar untuk melakukan pembalasan dendam yang dia nanti-nantikan.

Alis Bobi berkerut, terlihat ikut emosi.

"Lo mau ngadepin sendirian? Anak Fajar Delapan? Remi juga teman gue, ok?"

Jelo berusaha menyelinapkan diri di antara Bobi dan Sam seraya mendorong dada kedua temannya itu agar saling menjauh. "Ssst, aduh lo berdua. Udah, deh. Masalah ini masalah kita. Nggak usah bikin anak-anak lain jadi pengin tahu apa yang terjadi."

Sam berdecak pelan.

"Terserah kalian," katanya singkat sebelum bergerak mendahului Bobi dan Jelo, yang kemudian membuntut di belakang.

Ketiganya bergegas menuruni anak-anak tangga lalu menuju bagian gerbang belakang sekolah. Bahkan dari jarak kejauhan pun, Sam bisa melihat beberapa anak berseragam putih abu-abu—yang memiliki tone warna berbeda dengan seragam Andreas—itu berkumpul di salah satu sisi. Sam tidak sempat menghitung, tapi meyakini bahwa jumlahnya cukup untuk membuat Sam memiliki nasib serupa Remi—atau lebih buruk—jika Bobi dan Jelo tidak ada bersamanya saat itu. Namun, Sam tahu bahwa tidak ada alasan lagi baginya untuk mundur. Meski beberapa anak yang memenuhi lapangan belakang mulai melempar lirikan penuh tanya sambil berbisik-bisik.

Salah satu anak Fajar Delapan meluruskan jari telunjuknya, tepat ke arah Sam. Tatapan cowok itu jelas tidak menyiratkan keramahan, yang Sam tahu tidak dia butuhkan dalam situasi seperti ini.

"Udah siap lo?" tanyanya sambil melirik ke samping Sam.

Kalau saja Jelo tidak menahan Bobi, cowok itu pasti akan membuat sebuah berita besar karena memulai perkelahian dengan sekolah lain, di kandang sendiri. Bobi menggeram, membuat Sam melirik sekilas. Mungkin, Jelo seorang tidak akan sanggup menahan Bobi sehingga Sam turun tangan dengan menarik pundak Bobi.

"Kayaknya temen lo udah nggak sabar, tuh," ujar si pentolan Fajar Delapan. "Nggak sabar untuk babak belur maksudnya." Teman-temannya terkekeh. "Lapangan di perumahan belakang, kalau lo mau balas dendam buat sobat lo itu...."

Sam mengangguk dan mempersilakan anak-anak Fajar Delapan untuk bergerak lebih dulu sementara dia menahan Bobi. Namun, belum juga pentolan Fajar Delapan itu menghilang dari pandangan Sam, suara seseorang yang dia kenal telah membuatnya banyak menahan rindu itu, menyusup dari belakang. Cewek itu, Mika, memanggil 'Daniel' dan membuat Sam menoleh, bersamaan dengan si anak Fajar Delapan. Rahang Sam semakin beku ketika melihat Mika mendekat. Melirik Sam sekilas, lalu menghampiri sosok yang Sam yakin ikut serta membuat Remi terbaring di rumah.

Cowok bernama Daniel itu terdiam, membeku. Ekspresi menyiratkan sebuah keterkejutan seolah berbanding terbalik dengan sikap menantangnya ketika tiba.

"Oh, ha, hai, Mika," katanya.

Sam mengerutkan kening. Hai, katanya? Pemandangan itu jelas menarik Sam pada sebuah hipotesanya sendiri; bahwa ada sesuatu antara Mika dan Daniel. Sesuatu yang tidak Sam ketahui. Sesuatu yang jelas membuatnya jauh lebih emosi daripada sebelum ini. Hingga tangan Sam mengepal kuat-kuat di tepian celana. Memperhatikan bagaimana Mika tersenyum untuk cowok itu sebelum dia bertanya tentang kabar.

Sam tidak menyadari kalau mata hazel-nya terus menatap Mika dan bagaimana dia berinteraksi dengan Daniel. Hingga cewek itu menoleh dan memohon melalui sorot matanya. Sialnya, tatapan itu seperti Kryptonite bagi Sam.

"Nggak akan ada yang berantem, kan?"

Suara Mika memelas.

Tapi, kali ini Sam benar-benar mati kutu. 

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang