"Emang lo jadinya beneran sama si anak kelas satu itu?"
Pertanyaan itu datang pada saat Mika baru saja meletakkan tas di meja dengan perasaan yang tidak nyaman. Bibirnya mengerucut saat ujung matanya bergerak ke samping, memastikan kalau perasaan itu datang dari reaksi teman-temannya sendiri. Satu dua mata yang tertangkap oleh lirikan Mika, terlihat cekikikan kemudian menambahkan senyum yang berbalut satu kata ciyeee yang tidak lisan. Mika yang sama sekali tidak paham berusaha keras mengabaikan hal itu dan masuk ke bangkunya, duduk untuk mendengarkan Nana berbicara.
"Halo, masih ada orang di sana?"
Alis tebal Mika terangkat. "Oh, ya. Apaan?"
"Lo kenapa, sih, Mik?" Nana menutup buku Bahasa Indonesianya. "Muka lo kok kayak insecure sendirian gitu. Ada kejadian apa pagi-pagi ini?"
Mika memiringkan kepala. "Kenapa semua anak ngeliatin gue kayak gitu, ya?"
Reaksi pertama Nana adalah mencibir. "Ya iyalah! Potongan romansanya udah jauh lebih bisa dinikmati semua orang. Kalau kemarin, kan, nggak semua orang bisa lihat adegan ugh-so-sweet lo sama si anak kelas satu itu."
"Maksud lo?" terkadang Mika membutuhkan sesuatu lebih dari sekadar feeling.
"Serius lo nggak tahu?"
Itulah yang mereka bilang sahabat.
Ketika Nana mendapati ekspresi berkerut-kerut Mika—tanda kalau otaknya berusaha keras menemukan jawaban—dia tahu bahwa Mika nihil informasi. Tanpa penjelasan, Nana menggandeng tangan Mika dan mengajaknya keluar kelas.
Mika sama sekali tidak punya ide kemana cewek itu membawanya. Sepatu mereka hanya beriringan, bergerak menyisiri lantai dan berhenti tepat di salah satu siku lorong. Di sana terdapat sebuah papan besar berkaki roda dan bertuliskan MADING yang berdiri tegak. Sebuah wadah bagi sekumpulan anak-anak yang menamai diri sebagai tim reporter sekolah untuk menyebarkan beragam berita serta informasi ke seluruh, khususnya, penghuni SMA Andreas. Yang bagi Mika tidak lebih dari sekadar kumpulan penggosip yang datang dari kalangan atas—setidaknya karena mereka membutuhkan biaya untuk perlengkapan seperti kamera digital yang harganya tidaklah murah.
Nana hanya mengarahkan satu jari telunjuknya ke sebuah gambar dan cukup untuk membuat Mika menganga. Dia sama sekali tidak menyadari ada orang lain dengan kamera di sekitar lapangan pada waktu itu.
"Jadi, udah pelit cerita sama gue, nih?" sambil melipat kedua tangan, Nana melirik Mika yang diam-diam mendesahkan napas—pasrah. "Gue aja nggak tahu, loh, kapan jadinya si anak kelas satu itu—siapa namanya, Sam, ya?—nembak lo."
Mika menoleh. Mata bulat kelerengnya semakin membulat. "Jangan nambah gosip!"
"Loh... gue kira dari cara dia natap lo di foto ini...." Sekali lagi Nana mengamati cetakan foto itu dengan pangkal hidung yang berkerut. Membuat Mika ikut mengarahkan pandangannya pada dirinya di dalam selembar kertas.
Sam tampak melirik rendah ke arahnya sementara kedua tangan cowok itu menahan tas di ujung kepala Mika, menghalau matahari. Ada sesuatu yang tercetak di dalam ekspresi itu. Yang membuat Mika teringat saat Ayah mengatakan kalau Mika terpilih dan menjadi pengibar bendera sekolah untuk pertama kali dalam acara keluarga. Seakan Mika baru saja berhasil mendapatkan peringkat nomor satu di kelas.
"Jadi dia belum nembak lo?" Nana melanjutkan.
Mika ingin sekali menyangkal. Namun, anehnya tidak ada suara yang berhasil keluar dari kerongkongan. Yang sebagai ganti, bayangan kala Sam mengatakan isi hatinya, justru muncul di kepala Mika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extended Goodbye [Sudah Terbit]
Teen FictionExtended Goodbye "Sekeping hati yang pergi sebelum berpisah" a novel by Clara Canceriana Samuel Christian Bailey yakin kalau dia tidak akan bisa melupakan kenangan tentang seorang malaikat kecil bernama Mika Angelique Setiawan . Si penggila...
![Extended Goodbye [Sudah Terbit]](https://img.wattpad.com/cover/87365244-64-k269777.jpg)