Prolog

78.5K 2.2K 36
                                    


#

Gives the one you love wings to fly, roots to come back, and reasons to stay—Dalai Lama

#

Jakarta, tahun 2000

Shit!

Seperti menerima kejut setrum dari bangku semen di lapangan basket, Samuel Christian Bailey—Sam, segera bangkit menegakkan punggung dari pembaringannya sejak sepuluh menit lalu. Seragam OSIS bagian belakang berkerut-kerut akibat tertindih tubuh kurusnya. Sementara rambut cokelat gelap yang berantakan dan jatuh acak, menutupi hampir seluruh permukaan kening lebarnya. Seperti menemukan ide brilian, satu sudut bibir tipis kemerahan Sam meruncing. Bodoh, kenapa dia baru terpikir hal itu di detik-detik terakhir? Sam mengecek jam tangan berbahan karet di pergelangan kanan, berniat memastikan waktu. Namun, angka digital dua puluh yang muncul di layar sempit dengan cahaya hijau lumut yang redup, membuat alis panjangnya menyatu. Sam berdecak. Dia lupa menyeting ke waktu Indonesia! Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk urusan macam ini. Selama bel belum berbunyi, Sam masih punya kesempatan cukup untuk melesat kembali ke kelas satu B di lantai tiga, demi idenya itu.

Kaki lebarnya tidak menyia-nyiakan menit. Sam mengambil tas di tempat duduknya. Berusaha keras memasang mode invisible agar tidak menerima pertanyaan dari anak-anak yang sudah ramai memenuhi kelas, Sam pun berhasil menyelinap keluar—mulus seperti ninja. Dia memasang ekspresi yang terlihat normal saat menyusuri lorong lantai teratas gedung SMA Andreas.

Sam nyaris saja tiba di ujung tangga belakang—tangga yang jarang dilalui oleh para guru—saat beberapa murid menyerbu. Sam pun segera menyembunyikan diri di balik dinding. Membiarkan murid tadi tergesa-gesa masuk ke kelas.

Saat dia tidak lagi mendengar suara langkah, Sam meyakinkan diri kalau kondisi sudah aman. Dia pun keluar dari persembunyian dan bermaksud untuk melesat kabur menuju lapangan belakang. Namun, rencana itu mendadak gagal ketika dia nyaris saja menabrak seorang cewek bertubuh pendek dengan tumpukan buku sebatas dada yang ditahan menggunakan kedua tangan. Untung saja buku-buku itu tidak jatuh, yang Sam yakin bisa menjadi potensi keributan dan mengundang perhatian penghuni kelas satu E—kelas terdekat dengan lokasinya saat itu.

Tubuh Sam membeku saat mata kecil itu menatapnya sedetik, lalu menunduk seakan sampul buku itu jauh lebih ramah dari sorot mata tajam Sam. Cewek ini! Entah kenapa selalu saja menunduk setiap kali berhadapan dengan Sam.

"Ha, hai, Cassie," Sam berusaha menutupi kagoknya dengan tawa.

Cewek itu tidak bereaksi banyak. Hingga Sam sama sekali tidak bisa melihat gerakan matanya yang ternyata terarah pada tas yang dijinjingnya.

"Lo mau bolos?" tanya Cassie berusaha mengintip Sam dari balik alis rapinya.

Sam ingin memberikan apa pun agar Cassie bisa memperbesar volume suara saat bicara. Karena berbicara dengan Cassie terkadang membuat Sam merasa seperti sedang berhadapan dengan orang asing—sama sekali tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang dikatakan. Yang sebagian justru mengingatkan Sam pada Lim—si chinese, salah satu dari tiga teman baiknya selama di Midleburgh, saat pertama kali mereka bertemu di Elementary School. Atau, justru sekarang Sam memang sedang berada di posisi asing itu? Mengingat sudah tahunan dia tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya sendiri.

"Sorry?" Membuat Cassie terpaksa mengulang kalimatnya, jauh lebih jelas. "Oh, pssstttt," Sam menempelkan telunjuk di depan bibirnya. "Please, jangan kasih tahu siapa-siapa, ok?" Selangkah demi selangkah Sam mulai bergerak mundur ke arah yang berlawanan dengan Cassie. Cewek itu ikut memutar badan, reflek.

"Jangan bolos, Sam," pinta Cassie yang kemudian membuatnya kembali menyembunyikan pandangan di balik buku.

"Gue percaya sama lo," lanjutnya, sedikit merasa aneh saat menggunakan pilihan kata kasual.

"Sam..., bolos itu..., nanti kena skorsing," Cassie masih mencicit.

Sam tersenyum, tipis. "Oke!" sahutnya sama sekali tidak menjawab kekhawatiran Cassie. Sebaliknya air muka Sam justru menegang, was-was terhadap kemungkinan orang lain yang mungkin memergokinya. Di kepalanya, dia harus segera berlalu dari sana. Sam pun mengedikkan bahu sebelum menunjuk Cassie dengan jari telunjuk, seakan memberi penekanan pada Cassie soal kejadian ini. Sementara kakinya terus bergerak mundur. Sam baru memutar badannya saat dia berada di ujung tangga. Dengan cepat, dia mulai menuruni anak tangga sambil melambaikan tangan.

Tanpa peduli kalau Cassie hampir saja menggerakan kaki untuk mengejar.

Tiba di lantai bawah, Sam menempelkan punggung pada dinding. Kepalanya menyembul sebagian dari balik dinding bercat putih, memastikan kalau lorong menuju lapangan basket belakang sekolah saat itu kosong. Yes, tidak ada siapa pun. Sepatu converse hitamnya segera melintas lantai marmer dan melesat bak kilat melewati lorong. Seperti pemenang lomba sprint, Sam merasakan kemenangan itu kala tangannya berhasil menyentuh pintu gerbang setinggi dua meter itu. Sam segera melempar tas ranselnya melewati pintu, membuat debu tipis melayang di udara kala ransel itu jatuh berdebum di tanah. Tanpa membuang waktu, kedua tangan Sam menggenggam besi pagar yang cat abu-abunya terasa seperti sebuah kapalan kulit. Dia mengangkat kaki kanan dan memijak pada sela-sela pagar. Setelah mantap dengan persiapan, kedua tangannya menarik kuat seluruh tubuh tanpa ragu. Selangkah demi selangkah, Sam pun mulai merangkak naik.

Sam baru tiba di atas pagar saat derap suara lari itu terhenti. Entah apa yang membuatnya ikut membeku di atas sana, yang jelas Sam menatap bingung ke bawah. Ke arah cewek yang mengenakan seragam yang sama dengannya, tampak terengah-engah. Bahu mungilnya naik turun sementara rambut hitam lurus sepanjang dada—menutupi badge OSIS—terlihat berantakan. Dia mengenakan topi dengan bordiran sepasang sayap warna putih, yang tampak ingin menelan kepalanya bulat-bulat.

Sam menyipitkan mata saat menemukan bola mata persis kelereng berwarna hitam yang berkilau itu tengah memandangnya seperti sedang menilai. Ada keheranan yang terpancar dari tatapannya.

"..., Mika?" Sam membelalak, nyaris tersedak ludah sendiri. Dia sungguh ada di sini, di sekolah ini. Tapi, kenapa, di saat begini...?

"Hoi, kamu bolos, ya?"

Sam menoleh saat mendengar teriakan itu. Panik membuat Sam bergerak menuruni pagar tanpa memperhatikan apa pun. Pijakannya meleset. Sam pun tergelincir jatuh dengan lutut menyentuh tanah lebih dulu. Sambil menahan malu dan merasa tidak punya waktu, Sam hanya meringis pelan lalu menyambar tas. Tanpa bertanya, dia menarik pergelangan tangan cewek yang masih sibuk mengamati dan segera mengajaknya berlari menjauh. Sam sama sekali tidak bermaksud menyakiti meski dia tidak punya ide kenapa harus menarik cewek itu menjauh dari sekolah. Namun, lengannya justru menerima serangan bertubi-tubi dari tangan kecil si cewek.

"Eh, eh, eh!" Sam pun menoleh. Entah kenapa suara cewek ini terdengar begitu berisik. Tatapannya galak, atau tepatnya sok galak, saat Sam menoleh. "Lo ini, gue udah telat, lo malah bikin gue makin telat, ha?" Sam yakin. Penyanyi sopran mana pun pasti akan kalah jika disuruh adu memecahkan gelas kaca menggunakan suara.

Sam melongo, heran. Mika ini amnesia atau apa, sih?

Dilihatnya cewek itu malah mendengus sambil mengelus pergelangan tangannya yang begitu kecil. Dia cemberut sebelum benar-benar tersadar kalau dia sudah terlambat. Cewek itu pun segera memutar badan dan berlari kembali ke sekolahan. Secepat yang kaki pendeknya bisa tempuh dalam hitungan detik.

Pemandangan itu membekukan Sam.

Dalam kepalanya, ingatan itu muncul saat seseorang juga tengah berlari ke arahnya. Dalam derap yang sama. Dalam suara yang sama. Lebih dari itu, Sam yakin kalau cewek tadi adalah seseorang dalam ingatannya. Namun, melihat reaksinya, rasa percaya diri Sam pun hilang. Hingga dia perlu mengulang pertanyaan yang sama;

Sungguhkah dia Mika? Si culun Mika?

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang