Part 7.4

10K 317 10
                                        



Ada satu hal yang seharusnya Mika jelaskan dari awal pada Sam.

Bahwa Daniel adalah mantan pacarnya dan sudah beberapa bulan ini menghindar. Sebanyak apa pun pesan yang Mika kirimkan, Daniel tidak lagi membalasnya. Meski Mika ingat jelas bagaimana janji-janji cowok itu untuk selalu ada bagi Mika, walau hanya dengan status sebagai teman. Nyatanya, cowok itu seperti lenyap tertelan belahan bumi. Dan, ketika Bin menghampiri Mika sesaat sebelum dia meninggalkan kelas, memberitahu bahwa anak Fajar Delapan datang untuk menerima tantangan Sam, Mika bergegas menuju gerbang belakang.

Mika sendiri tidak tahu menahu soal penyerangan yang terjadi pada Remi beberapa hari lalu. Mendengar semua itu dari Bin, membuat Mika sedikit kecewa sekaligus merasakan sebuah kerinduan menyerbu rongga dadanya. Namun, Mika mengenal Daniel. Dia tahu bagaimana Daniel tidak mungkin ikut campur dalam urusan pemukulan tanpa sebab itu. Setidaknya satu tahun bersama cowok itu Mika pernah mempercayainya. Atau, Mika hanya bodoh karena kenyataannya Daniel tidak pernah menepati janjinya kemudian?

Daniel tidak menyahut apa pun dan melempar pandangan pada Sam, seolah menyuruh cowok itu menjawab pertanyaan Mika.

"Ya, nggak ada yang akan berkelahi, kecuali orang itu datang dan minta maaf karena telah membuat Remi babak belur," Sam mengangkat alisnya, mengembalikan pandangan pada Daniel dengan tajam. Seolah itulah cara Sam untuk meretaskan emosinya yang kini seperti tengah bertambah berkali-kali lipat.

"Gue nggak melakukannya, kalau lo mau tahu!" Daniel buka suara, enggan menerima tatapan penuh tuduhan dari Sam. "Semua itu kerjaan teman-teman gue. Mereka kesal karena lo dan teman-teman lo ikut campur waktu kita ngeroyok Bin. Mereka punya dendam sendiri sama Bin dan gue ngga ikut campur dalam hal ini. Paham? Jadi tuduhan lo selama ini salah besar!"

Sam mengepalkan tangan ketika Daniel memutuskan untuk pergi. Mengabaikan panggilan Mika. Ini kesempatannya meminta penjelasan Daniel atas sikapnya yang menghindari Mika, tetapi pertanyaan itu lenyap ketika seseorang menarik tangannya, lalu membawa Mika melewati Bobi dan Jelo yang menggerutu.

Lorong lantai satu aula menjadi tempat yang tepat untuk kali itu.

"Sakit tau, Samuel!" Mika meringis, melempar protesan kesal. "Lo nggak tahu berapa lama gue nunggu biar bisa ketemu Daniel? Nyebelin banget."

Sam mengatupkan bibir.

"Mika, seriously? Lo dan orang itu?" Sam terlihat begitu terluka.

Mika tidak bodoh untuk mengetahui dari mana ekspresi kecewa itu berasal. Sam telah terang-terangan menunjukkan perasaan padanya, meski—entahlah, jika Daniel bisa berbohong padanya, bukan berarti Sam tidak akan melakukan hal yang sama, bukan? Bagaimana Mika bisa mempercayai orang yang pernah meninggalkannya begitu saja dan tidak pernah memberinya kabar itu? Kepercayaan bukan hal yang mudah ketika Mika tahu bahwa dirinya pernah terluka karena itu.

Mika menggulingkan bola matanya ke samping, enggan membalas tatapan mata Sam. Tatapan yang membuat Mika tersentak ke dalam perasaan bersalah. Tetapi, yang lebih buruk dari itu, dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Usahanya mencoba untuk membuka sebuah pintu kepercayaan seperti menggiring Mika pada tepian jurang.

Sam membuang napas kala mengusap kedua wajahnya.

"You still in love with him?" tanya Sam lagi, yang kali ini membuat Mika merasa begitu tersudutkan. Nada suara Sam terlalu mendesaknya seolah tidak ada lagi hari esok untuk mengetahui jawaban itu. "Tolong, jawab pertanyaan gue, Mika."

Bukan keinginan Mika ketika dia menatap Sam. Ada sesuatu dalam nada kalimat Sam yang membuat Mika merasa begitu bertanggungjawab untuk sesuatu yang pernah Sam lontarkan. Mika menggigit bibir bawahnya.

"Itu bukan masalah sekarang, Samuel," Mika mendesah.

Dia bahkan tidak tahu jawabannya.

"Lalu apa?" Sam melipat kedua tangannya di depan dada.

"Gue cuma nggak mau ada perseteruan antara lo dan Daniel."

"It's not about you tho."

"Ya, gue tahu," Mika membulatkan matanya. "Gue tahu soal Remi. Tapi, apa pun alasannya, gue nggak mau ada yang babak belur lagi. Bisa janji soal itu?"

Sam menelan ludah. "Jawab satu hal, Mika, dan gue akan janji hal itu. Lo bisa pegang omongan gue, meski lo menganggap gue berbohong atau whatever." Sam mengibaskan tangannya ke udara, pasrah. Namun, Mika menegang di tempatnya berdiri. "Apa arti gue buat lo, Mika?"

Pertanyaan itu benar-benar membuat Mika menegang. Jantungnya tidak bisa Mika kendalikan dan kini dagunya seperti bergetar. Berkali-kali Mika menjilati bibirnya sendiri karena tidak nyaman dengan tatapan Sam yang begitu dingin, sekaligus terselip sebuah pengharapan dan kepasrahan. Ekspresi yang tidak pernah dia temukan sejak pertemuannya kembali dengan Sam.

Mika masih diam ketika Sam mengangguk, pelan.

"Ok, gue paham." Suara Sam terdengar serak. Nyaris berdesis. "Sorry, karena gue memaksakan perasaan gue ke lo. Minta maaf karena itu membuat lo nggak nyaman. Tapi, gue udah paham sekarang dan...," Sam mengedikkan pundak, "seperti yang gue bilang dulu, gue memilih mundur. Serius."

Mata Mika nyaris tidak berkedip mendapati siluet kecewa pada wajah Sam. Seketika membebaninya dengan ribuan perasaan bersalah yang menyesakkan.

"Gue minta maaf, Samuel."

Sam menaikkan satu alis panjangnya.

"This... gonna be our second goodbye, Mika."

Ketika akhirnya Sam bergerak mundur dan kemudian meninggalkannya sendirian, Mika terdiam di tempat. Mika tidak pernah berharap bahwa akan ada perpisahan lagi di antara dirinya dan Sam. Tidak akan pernah lagi melihat sosok itu berlalu dari hadapannya dengan gurat mendung mengisi matanya. Namun, itulah kenyataan yang ada dan Mika tidak bisa berbuat apa-apa. Karena jika Sam sungguh-sungguh jujur padanya, Mika tidak ingin menjadi satu pihak yang justru membohongi cowok itu. Hatinya berdenyut nyeri, tetapi ada sebuah kelegaan menyusup.

Karena setidaknya dia telah melepaskan seseorang dan membiarkannya untuk berlabuh di tempat yang lebih baik.


Dear, readers.

Sebelumnya izinkan saya untuk memohon maaf mengenai proses penulisan yang sedikit terhambat karena satu dan lain hal. Saya paham betul bahwa ini bukan hasil terbaik yang saya inginkan. Itu menjadi teguran bagi saya karena menulis tanpa outline dan saya tahu saya tidak benar-benar bisa berjalan tanpa outline yang matang.

Namun, terima kasih untuk pembaca dan komen yang ditinggalkan. 

Dari sana, saya mengambil banyak energi positif.

And, last but not least, untuk semua yang sudah mengikuti Extended Goodbye, saya mengucapkan terima kasih banyak. 


Salam, 

Clara Canceriana.

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang