19.
***
AUTHOR POV
"Papa bilang kamu gak usah anterin aku pulang Az."
"Kenapa?" Azhar melirik sekilas pada Aulia yang duduk di sampingnya. Keduanya dalam perjalanan pulang.
"Katanya dia nunggu di lobi apartemenmu."
"Papamu belum pulang sejak tadi? Selama itukah?"
Aulia mengedikkan kedua bahunya. "Mungkin."
Selanjutnya, hanya keheningan yang menemani keduanya.
Benar saja, Bram masih di sana, sedang bediri di depan pintu, tepat di sebelah seorang security. Tangan kanannya, memegang sebuah berkas. Sedangkan tangan yang satunya tengah di dekatkan pada telinga. Sepertinya laki-laki itu sedang menelepon dengan seseorang.
Azhar turun terlebih dahulu, berlari kecil memutari mobil untuk membukakan pintu Aulia. Keduany berjalan mendekat ke arah Bram. "Malam Om," sapa Azhar berbasa-basi.
Bram tersenyum tipis, sebelum berujar. "Bagaimana acaranya?"
"Ya begitu aja sih Pa. seperti kebanyakan pesta pernikahan,"
"Setelah ini, moga saja Papa bisa denger kabar baiknya dari kelanjutan hubungan kalian berdua ya." Bram terkekeh kecil di akhir ucapannya.
Azhar kikuk. Terbukti dari sebelah tangan yang sudah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menikah dengan Aulia ya? gadis yang dicintainya sejak SMA. Harusnya, hal itulah yang menjadi Takdir hidupnya, bukan menikah dengan seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalinya.
Sepertinya, Azhar harus sesegera mungkin menceraikan gadis itu. Supaya hubungannya dan Aulia berjalan mulus. Untuk saat ini setidaknya Azhar harus mengikat Aulia dalam sebuah pertunangan, kalau tidak ... bisa-bisa Aulia jatuh ke dalam pelukan-laki lain.
Waktu resepsi tadi saja, tidak sedikit laki-laki yang menatap Aulia, terang-terangan menunjukkan lewat tatapan matanya, kalau mereka itu penasaran akan sosok Aulia.
"Aku juga maunya dalam waktu dekat ini sih Pa. tapi gak tau nih, Azharnya. Pacaran mulu sama kerjaan, pacar yang sungguhan jadi terabaikan."
"Doain aja ya sayang, moga tahun depan kita udah bisa tunangan."
"Tunangan? Tahun depan? Harusnya tahun depan kalian udah menikah, bukannya baru tunangan." Ada nada memerintah dalam suara Bram.
"Kalau untuk menikah, sepertinya 2-3 tahunan lagi Om. Saya harus mempersiapkan dulu banyak hal, setidaknya saya ingin yang terbaik buat pernikahan saya nantinya. Saya tidak ingin pernikahan yang hanya mengandalkan mas kawin dan modal sah saja, tapi saya benar-benar ingin menjadikan moment itu momen yang dikenang banyak orang, terutama saya dan Auli." Tersirat janji dan kesungguhan yang begitu dalam.
Setetes air mata berhasil lolos dari mata seorang gadis yang tengah duduk pada kursi kayu, sambil membelakangi ketiganya. Kenapa takdir membawanya pada keadaan seperti ini? Matanya terpejam, butiran bening semakin banyak, berlomba membasahi pipinya.
Tangannya tidak berkutik, tetap setia mendekap sebuah berkas, melindungi berkas tersebut diantara dada dan kedua tangannya yang menyilang. Air matanya tidak seberharga berkas ini, jadi ... daripada mengusap air mata itu, Emi lebih memilih untuk menjaga berkas ini baik-baik.
Ingatannya terputar kembali pada beberapa waktu lalu. Bram meneleponnya, membeberkan segala kenyataan yang tidak mau Emi percayai. Tapi Emi penasaran, dan pada akhirnya ia menyerah, luluh begitu saja pada laki-laki itu yang mengajaknya berbicara empat mata. Selain itu Bram berjanji tidak akan menyakitinya, ataupun menculiknya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Wasiat [Sudah Terbit]
RomanceSebagian isi cerita sudah dihapus!!! 'Harusnya dari awal gue gak nyembunyiin pernikahan ini....' 'Harusnya gue mengenalkannya langsung dihadapan keluarga besar gue... Kalau begitu 'kan Alex gak akan menaruh perasaan pada Istri Kakak sepupunya sendi...