PW-23. Ragu.

256K 10.4K 532
                                    

Berharap kalian bahagia dengan kemunculan notif dari cerita ini. Wkwk...

Sebelumnya, aku ucapkan terimakasih pada kalian-kalian yang sudah memberikan semangat padaku melalui comentt, makasih banget. Meskipun aku gak bisa balas satu peratu, tapi percayalah aku selalu membacanya dan komentar kalian yang membuatku pengen cepet-cepet post lanjutannya.

Gak papa kan, kalau aku gak bisa balasin satu persatu?

Makasih juga buat yang udah memberikan vote, tanpa adanya dukungan dari kalian, cerita ini hanya akan jadi pajangan di wattpad. Bagi yang sider, moga kalian cepat diberikan hidayah untuk meninggalkan jejak ya. Percaya deh, saling menghargai itu indah. #Plak.

Jadi? apakah masih mau jadi sider? Aku saranin jangan deh... Kalo gak suka sama ceritanya, jadi siderpun tak apa lah.

Makasih atas perhatiannya, dan selamat membaca... BTW, part ini pendek hanya berisi 1600 word, tapi insha Allah nanti malam aku lanjut ceritanya. Kalau kesandung typo, tolong tandai yaaa...

23

***

"Kakak baik-baik aja 'kan?"

Terdengar kekehan dari seberang sana. "Tentu saja. Kenapa memangnya?" tanya orang itu kemudian.

"Jam pulang kantor udah lewat, terus ... biasanya juga sebelum jam enam, Kak Fathan sudah sampai di rumah, tapi sekarang...." Emi mendesah diakhir kalimatnya.

Ya, Emi tengah menghubungi Fathan, yang sampai saat ini belum menunjukkan batang hidungnya di hadapan Emi. Padahal waktu sudah menunjuk pukul delapan malam, dan biasanya di saat seperti ini, Emi dan Fathan sudah bisa menikmati waktu bersantainya seraya nonoton acara televisi.

Kalau saja tadi pagi Azhar tidak menemuinya, mungkin Emi tidak akan sekhawatir ini. Emi takut, Fathan juga kena imbas, dari kemarahan Azhar. Tapi setelah mendengar suara laki-laki itu, sepertinya ketakutan yang Emi rasakan tidak terjadi.

"Kak Azhar gak ngapa-ngapain Kakak 'kan?"

"Hahaha ... Enggak lah. Justru Kakak bahagia Em, karena sekarang laki-laki itu sudah pergi dari kantor. Ya meskipun hanya untuk sementara waktu saja sih."

Emi mengerutkan keningnya. "Maksud Kakak?"

"Sudahlah, nanti Kakak jelasin di rumah saja. Kamu udah makan 'kan?"

"Udah Kak."

"Syukur deh kalau sudah. Kalau gitu Kakak tutup teleponnya ya, pekerjaan Kakak masih banyak Em."

"Hm," gumam Emi seraya mengangguk kecil.

"Assalamu'alaikum...."

"Wa'alikumsalam...."

Tuut. Tuut. Tuut.

***

"Jadi ... Apa yang ingin Kakak jelaskan." Sungguh, Emi sudah sangat penasaran dengan apa yang akan Fathan sampaikan. Sehingga, begitu Fathan membuka pintu, Emi langsung melontarkan perkataan itu.

Fathan menghembuskan napas kasar, "Selangkah pun Kakak belum memasuki rumah, Emilia."

Senyum Emi malah melebar. "Hehe ... aku lupa," ujarnya seraya menggeser sedikit tubuhnya, memberi jalan bagi Fathan.

"Kakak bersiin badan dulu, nanti akan Kakak jelaskan." Fathan mengacak-acak pucuk kepala Emi, sebelum kemudian dirinya berlalu meninggalkan Emi untuk memasuki kamarnya.

"Sekali lagi Kakak membuat rambutku acak-acakkan. Kakak harus bayar denda 10 juta." Emi setengah berteriak dengan tangan yang sudah sibuk merapikan rambutnya.

Pernikahan Wasiat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang