PW-20

221K 10.4K 465
                                    

20

'Kakak memang tidak akan memberitahukan tentangmu pada si Boss Em, tapi Kakak janji akan memberitahukan semua tentangmu pada Aulia. Seenggaknya kamu harus mendapat keadilaan Em. Kamu tahu status Aulia, maka sekarang saatnya Aulia tahu tentang statusmu.' Batin Fathan. Pandangannya lurus menatap Emi yang sudah tertidur.

Keadaan gadis ini sangat memprihatinkan. Kesedihan masih tergambar jelas dari wajahnya, padahal gadis ini sudah tertidur lelap. Lampu kamar yang temaram tidak dapat menyembunyikan bekas air mata yang tercetak di pipinya.

Tangan Fathan terulur, mengusap rambut gadis itu penuh kasih sayang. "Kakak janji Em, Kakak akan membuat Azhar bertekuk lutut, meminta pengampunan darimu. Dia harus membayar setiap tetes air yang keluar dari matamu. Dengan mudah, semua kisah manisnya dengan Aulia, dia ceritakan padamu, tapi sekalipun dia tidak pernah, atau bahkan tidak mau bertanya tentangmu. Kamu masih punya Kakak Em, kamu tidak sendirian.

"Kakak pernah lalai menjaga adik Kakak Em, mungkin sekarang dia datang kembali dalam wujud dirimu. Kakak tidak akan melakukan kesalahan yang sama, Kakak akan membayar semuanya, semoga dengan begini adik Kakak bisa bahagia di atas sana ... Tidurlah, semoga keadaanmu esok hari jauh lebih baik," tepat setelah berucap demikian Fathan bangkit, kemudian mengecup kening Emi beberapa saat. Menyalurkan kasih sayang yang begitu dalam, lewat kecupannya tersebut.

Keluar dari kamar tamu, Fathan berlalu memasuki kamarnya.

Mulai sekarang, Emi akan tinggal bersamanya. Fathan tidak akan memberikannya pada Azhar sebelum laki-laki itu meminta maaf pada Emi. Azhar memang tidak mengusirnya, tetapi ketika Fathan keluar dari apartemen dengan membawa serta Emi bersamanya, Azhar tidak melarangnya sekalipun.

Dan Emilia, gadis itu sekalipun tidak mengeluh, selalu berujar, 'Aku tidak apa-apa Kak,' dengan menampilkan senyum tipis andalannya. Tetapi, begitu Emi memasuki kamar tamu yang akan ditempatinya, dia menangis dalam diam, menangis penuh rasa keputus asaan dengan tetap mendekap dokumen pemeriksaan Papanya.

Fathan yang mengintip dari balik pintu hanya tersenyum getir. Bagaimana bisa, Azhar menyalahkan gadis itu, atas semua yang terjadi pada keduanya, sedangkan semua ini juga bukanlah seperti yang gadis itu harapkan. Lalu siapa yang harus Fathan persalahkan di sini?

Azhar yang terlalu keras kepala dan menutup diri atas kenyataan yang ada, atau Emilia yang terlalu memikirkan kebahagiaan Azhar terlebih dulu, daripada kebahagiaannya sendiri. Ah, entahlah ... kedua orang itu memang salah. Fathan sendiri ikutan salah, mendukung keduanya menyembunyikan pernikahan ini, padahal sudah jelas-jelas kalau hal itu adalah salah.

Lalu sekarang bagaimana? Fathan akan mencoba memperbaiki kesalahannya, dengan memberitahukan Aulia tentang status Azhar yang sebenarnya. Kalau Aulia wanita baik-baik, pasti wanita itu akan mundur secara perlahan. Ketika Aulia sudah mundur, maka Fathan akan membujuk Azhar untuk memperbaiki semuanya, sebelum terlambat.

Kalau Aulia tetap stay di samping Azhar, maka Fathan tidak punya pilihan lain, selain angkat bicara di hadapan keluarga Azhar tentang semuanya. Azhar ngamuk? Biarkan saja. Di sini, keselamatan dan status Emi yang Fathan utamakan.

Daripada Emi hidup disamping Bram nantinya, lebih baik gadis itu bersama Azhar. Fathan percaya, sebodoh-bodohnya Azhar, laki-laki itu bisa berubah seiring berjalannya waktu.

***

Emilia demam. Badannya panas tetapi sekujur tubuhnya menggigil kedinginan. Keringat dingin sudah membanjiri punggungnya, membuat pakaian yang dikenakannya terasa basah.
Tok. Tok. Tok~

"Em kamu udah bangun 'kan?" itu suara Fathan.

Tok. Tok. Tok~

"Em...."
"Masuk aja Kak," gumam Emi. Entah suaranya akan di dengar Fathan atau tidak.

"Kakak masuk ya." Ah, sepertinya laki-laki itu tidak mendengarnya.

Emi mengangguk di susul dengan pintu kamar yang terbuka. Terlihatlah Fathan yang sudah rapi dengan pakaian santainya. Wajar, ini hari minggu jadi laki-laki itu tidak berangkat ke kantor.

"Astaga Em, wajahmu sangat pucat. Kamu sakit?" Fathan mendekat dengan raut khawatirnya.

"Gak papa Kak...." Emi berusaha menyembunyikan kesakitannya lewat senyuman.

Emi meringis, begitu punggung tangan Fathan menempel pada keningnya. Sangat dingin, begitulah pikirnya. "Gak papa bagaimana, tubuhmu sangat panas begini...."

"Aku gak papa Kak--"

"Diamlah Emilia. Kakak tidak sebodoh itu." geram Fathan. Tangannya sudah sibuk mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Hallo Dok ...," ujarnya kemudian.

Senyum yang Emi tunjukkan memudar secara perlahan. Matanya berkaca-kaca, menatap Fathan yang sudah mondar-mandir dengan ponsel yang setia ditempelkan pada telinganya.

Kenapa Emi selalu merepotkan laki-laki ini? Kenapa juga sakit harus menghampirinya sekarang? Tidak salah 'kan, kalau Emi bilang baik-baik saja supaya tidak merepotkan laki-laki itu.

"Dokter akan datang sebentar lagi untuk memeriksa keadaanmu ... Hey kenapa nangis? Apa ada yang sakit?"

Emi menggeleng. "Makasih Kak, dan maafkan aku karena sudah merepotkan Kakak."

Fathan mendudukkan tubuhnya di samping ranjang. "Gak papa. Bagaimanapun juga, kamu istri dari Boss Kakak. Kakak harus menjagamu, sebagaimana mestinya."

Bisakah Fathan tidak menyebut kata istri dihadapan Emilia. Ah kata itu, benar-benar menghancurkan perasaan Emi. Semua yang telah Emi korbankan, seakan tidak cukup untuk menarik Azhar ke sisinya. Laki-laki itu tetap menganggap Emi sebagai penyebab semua kehancuran masa depannya.

"Istri yang tidak dianggap," gumam Emi tanpa sadar.

Fathan tidak menanggapinya, dan malah mengalihkan pembicaraan ke topic yang lain. "Tunggu sebentar ya, Kakak akan ambilkan kompresan untukmu."

Emi mengangguk, menatap punggung Fathan sampai menghilang dibalik pintu. Tidak lama laki-laki itu kembali, membawa baskom kecil berisi air hangat dan saputangan untuk mengompres Emi.

"Kakak akan buatkan bubur untukmu, sekalian nunggu dokternya datang juga." Ujar Fathan setelah berhasil memasang kompresan pada kening Emi.

***

Tiga hari sudah, Emi hanya berdiam diri di dalam kamar. Itu berati sudah dua hari dirinya tidak pergi ke sekolah. Dan pagi ini, keadaannya sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya, maka ia memutuskan akan pergi sekolah kembali. Emi juga tidak sabar ingin menjelaskan kepada Diandra, tentang kesalahpahaman tempo hari.

Kesalahpahaman, yang akhirnya membawa Emi tinggal di rumah Fathan ini.

"Kamu yakin Em." Fathan muncul dari dalam rumah, dengan penampilan kantornya.

Emi hanya melirik sekilas, kemudian mengangguk dan kembali pokus pada kedua tangan yang tengah mengikat tali sepatunya.

"Biar Kakak yang antar ya," lanjut Fathan kemudian.

"Gak usah Kak. Aku bisa berangkat dengan taxi atau angkot. Kakak langsung ke kantor saja, nanti kesiangan." Emi bangkit, kemudian mengambil tas gendong yang sebelumnya tergeletak di samping kursi yang didudukinya.

"Ayolah Em. Kali ini aja, lagian kamu 'kan belum sembuh total."

Emi berdecak, menatap Fathan setengah kesal. "Aku gak papa Kak Fathaaannn... seriusan deh,"

"Yasudah lah. Kalau gitu, hati-hati yaa..." Dengan sengaja laki-laki yang menyukai Diandra itu mengacak-acak pucuk kepala Emi.

"Ish Kak Fathan ... Kebiasaan deh. Tuh 'kaann, rambutku jadi jelek lagi."

***

VBh }H(

Pernikahan Wasiat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang