PW-22. Yang terrenggut...

224K 10.5K 565
                                    

Cieeee ... cepet banget, notifnya dah muncul lagi. Yakkk!!! Sok atuh di vote dulu, tong hilap, di komen oge... 

***

22.

"Kak Fath...." Panggil Emi, sambil bangkit dari duduknya.

"Lah ... kamu belum berangkat Em. Padahal ini udah hampir jam tujuh loh." Fathan melirik sekilas ke arah jam dinding di ruang tamunya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Fathan, Emi malah melangkahkan kakinya, mendekati laki-laki itu, sampai berdiri di hadapannya.

Sengaja, Emi tidak berangkat lebih dulu seperti biasanya. Pagi ini, Emi akan meminta pada Fathan, untuk menjelaskan semua kesalah pahamannya pada Diandra. Sungguh dirinya sudah sangat lelah membujuknya seorang diri. Menurut penjelasan Zahra, Diandra akan tetap keras kepala karena yang gadis itu butuhkan bukan penjelasan dari Emi.

"Ada apa hm." Tangan Fathan terulur, mengacak pelan pucuk kepala Emi, sampai Emi cemberut dibuatnya. Sedangkan wajah laki-laki itu, setiap hari terlihat semakin bahagia. Entah apa yang terjadi, padahal kan harusnya laki-laki itu murung, karena sang pujaan hati tengah menjaga jarak darinya.

"Jelasin pada Diandra yang sebenarnya ya." Raut bahagia Fathan, menghilang seketika. "jelasin kalau diantara kita itu gak ada hubungan apa-apa, aku hanya seorang gadis yang kebetulan Kakak tolong. Aku gak mau dibenci sahabatku sendiri Kak."

"Kalau dia sahabatmu dia akan mempercayai mu Em, begitupun dengan Kakak. Setelah semua bukti yang Kakak tunjukkan, masa dia masih meragukan kalau Kakak pura-pura dengan perasaan Kakak. Dia yang harus mengerti, bukan kita. Kakak pergi dulu ... jangan lupa kunci rumah yang benar." Dan Emi hanya bisa menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah kaki Fathan.

Laki-laki itu tidak membuka suaranya kembali, sampai mobil yang dikemudiakannya menghilang dalam pandangan. "Hati-hati Kak."

Emi berbalik untuk menutup pintu rumah dan menguncinya.

"Shhh ...." Emi menengadah, menatap seseorang yang sudah mencengkram tangannya. Pintu yang belum sepenuhnya terkunci tadi kini terbuka kembali, dengan setengah didobrak oleh laki-laki yang mencengkram Emi.

Emi semakin meringis, tatkala cengkraman itu semakin erat. Belum lagi laki-laki itu kini sudah menariknya kembali ke dalam rumah. "Lepasin ... Aku harus sekolah."

Apa daya. Sekeras apapun Emi berontak, tenaganya tidak sebanding dengan laki-laki itu. Tubuh Emi terjatuh di sofa, laki-laki itu mendorongnya dengan keras.

Sorot matanya yang tajam, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang dirasakannya. Berbeda terbalik dengan wajah penuh amarah yang ia tunjukkan pada Emi.

"Apa yang kau lakukan di si—sini?" ucap Emi takut-takut.

Laki-laki itu menggertakkan giginya sebelum berujar. "Kembalikan Aulia, Emilia." Ia sudah berjongkok, kedua tangannnya mencengkram bahu Emi kuat.

"Lepasin ... Sakit." Wajah Emi memerah. Kesakitan tergambar jelas dari wajahnya, tapi laki-laki itu tidak menaruh simpatik sedikitpun.

"Gak cukupkah selama ini kamu menghancurkan hidup saya? Kenapa harus Aulia, Emilia—kenapa?" Emi menunduk, badannya ikut bergerak tatkala laki-laki itu menggoncang bahunya.

"Aulia apa. aku gak ngerti?"

"Cih. Jangan harap kamu bisa menipu saya dengan wajah polosmu itu." Laki-laki itu menjauh, berdiri untuk merogoh sesuatu dari saku celananya. "Kamu pikir, kalau bukan kamu yang membocorkan tentang pernikahan kita pada Aulia, siapa lagi hm? Karena keegoisanmu itu, dia pergi, meninggalkan saya. Dan kamu ... Jangan pernah berharap saya akan menerimamu di hidup saya." Sedetik kemudian ia melemparkan sesuatu ke atas pangkuan Emi.

Pernikahan Wasiat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang