***
AUTHOR POV
Suara yang pertama kali Emi dengar begitu memasuki apartemen, adalah bunyi telepon yang begitu nyaring.
"Astaga. Apakah harus suara telepon yang menyambut kepulanganku." Meskipun menggerutu, tapi Emi tidak mengabaikan suara tersebut. Buktinya, kaki yang hanya beralas kaus kaki itu sudah berlari kecil mendekat ke asal suara.
"Ha--"
"Ambil handphone di kamar saya. Habis itu kamu anterin ke kantor. Jangan pake lama."
Tuut. Tuut. Tuut....
Emi mengernyit. Apakah kemarahan Azhar masih belum reda, sehingga mendengar suara Emi pun tidak mau.Sekarang tidak hanya tubuhnya yang merasa lelah, tetapi batinnya pun sama. Sampai kapan keadaan ini akan berlangsung. Emi capek, dirinya juga tidak mau dicuekkan Azhar terlalu lama. Sedangkan sampai sekarang, Emi belum tahu dimana letak kesalahannya pada Azhar sehingga membuat laki-laki itu menjauh kembali, seperti pada saat awal pernikahan mereka.
Dengan gusar Emi memutar langkahnya. Hanya menyimpan tas sekolah dan berganti pakaian saja. Tadinya, begitu pulang ke apartemen yang ingin Emi lakukan pertama kali adalah, mengisi perutnya yang belum diisi apa-apa. Tapi kalau keadaannya seperti ini, yasudahlah... Mungkin nanti Emi akan mencari makan di luar.
Berakhirlah dirinya di sini. Berdiri menghadap gedung pencakar langit berpuluh-puluh lantai. Ini adalah kali kedua Emi menginjakkan kaki di tempat ini.
Emi menghampiri sang resepsionis, dan langsung mengutarakan maksud kedatangannya ke tempat ini.
Beda dengan sebelumnya. Kali ini, resepsionis itu tidak lagi menunjukkan senyum ramah seperti pada waktu pertama kali Emi melihatnya. Mungkin resepsionis itu benar-benar mengira kalau Emi ini adalah pembantu Azhar.
Emi keluar dari kantor. Kesedihan masih tergambar jelas dari wajahnya. Tadinya ia berharap, bisa bertemu langsung dengan Azhar. Bicara empat mata dengan laki-laki itu, supaya Emi bisa menanyakan apa kesalahannya. Setidaknya dengan begitu, Emi bisa memperbaiki kesalahannya.
Resepsionis tadi menolak. Dengan alasan "Maaf Mbak. Tapi Pak Azharnya sedang ada tamu dan dia tidak bisa bertemu dengan orang yang tidak penting."
Jangan kalian kira Emi diam saja. Tidak. Emi tidak menyerah, dia memohon pada resepsionis itu untuk menunggu Azhar, sampai Azhar selesai dengan urusannya.Lagi dan lagi. Resepsionis itu malah mengeluarkan berbagai alasan, untuk menolak Emi. Sampai pada akhirnya, wanita itu mengancam akan memanggilkan satpam supaya bisa membawa Emi keluar dari sini.
Daripada diseret-seret, lebih baik Emi mengalah. Mundur teratur dan meyakinkan diri sendiri, nanti juga akan ada saatnya dirinya berbicara serius dengan Azhar.
"Emilia Dwi Prasetya." Sebelum menoleh ke asal suara, Emi mematung. Seseorang telah memanggil nama lengkapnya, sedangkan di sini tidak mungkin ada orang yang mengenali siapa dirinya.
"Anak bungsu dari pasangan Abimanyu Prasetya dan Indah." Suara itu semakin mendekat. Ucapannya kali ini, berhasil membuat Emi menatap heran laki-laki yang berbicara dengannya itu.
"Bapak kenal Papa saya." Ya. Emi tertarik menimpali laki-laki yang belum dikenalnya ini hanya karena laki-laki ini menyebut nama Papanya.
Laki-laki itu mengangguk. "Dia menyuruh saya untuk menjemputmu pulang."
"Benarkah?" Emi memastikan dengan pandangan berbinarnya.
"Iya. Kalau kamu tidak percaya, ikutlah bersama saya." Bahkan kali ini laki-laki itu bicara dengan memegang sebelah tangan Emi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Wasiat [Sudah Terbit]
RomanceSebagian isi cerita sudah dihapus!!! 'Harusnya dari awal gue gak nyembunyiin pernikahan ini....' 'Harusnya gue mengenalkannya langsung dihadapan keluarga besar gue... Kalau begitu 'kan Alex gak akan menaruh perasaan pada Istri Kakak sepupunya sendi...