Restu berpikir keras untuk mencari pembahasan yang menarik untuk membuat Carla tidak badmood. Dia melihat rangkaian bunga yang telah tadi dia titipkan kepada keponakannya yang bersekolah dengan Carla. "Dibawa juga bunganya," Dia mengambil bunga tersebut yang tergeletak di samping kanan Carla.
"Tadi kamu nitipin ke Dila?" tanya Carla. "Aku dapet bunga itu dari Dila."
Restu mengerutkan dahinya. "Dila?" dia kebingungan. "Tadi aku titip ke Alan." Keponakannya bernama Alan Alwansyah. "Ya, diititipin kali ke Dila." Dia menyimpannya. "Yang penting 'kan, sekarang bunganya udah ada dikamu." Dia tersenyum begitu bahagia.
"Kenapa bukan kamu yang ngasih langsung ke aku?" tanya Carla sambil memperbaiki duduknya lebih tegap.
"Aku malu ngasihnya." Restu tersenyum malu. "Tapi, by the way makasih udah dibawa bunganya." Dia tersenyum lebar dengan matanya yang sipit.
"Kalo tau dari kamu sih, aku gak akan bawa juga." Carla so jual mahal. "Tadi, akunya lagi buru-buru, jadi ya main bawa aja." Candanya dengan wajah so cuek.
Restu agak terkejut mendengar kata-kata tersebut keluar dari Carla. Mungkinkah memang dia sebenarnya malas menerima bunganya, sampai-sampai dia bilang seperti itu? Pikirnya agak panik. Jadi dia terpaksa jalan sama gue? Pikirannya bertanya-tanya. Namun dia berusaha yakin, jika Carla tak seperti itu. Cerita yang disampaikan dari Anwar memang benar-benar cerita dari Carla.
"Ya udah aku bawa lagi," Restu membawa bunganya kembali.
Carla cemberut. "Jangan." Merebut kembali bunga yang telah dipegang Restu.
Restu tertawa. "Tuh 'kan, emang kamunya aja yang mau." Candanya. "Itu juga, aku salah kirim deh bunganya," dia tertawa kecil.
Carla cemberut kembali, lalu memukul Restu dengan bunga. "Dasar rese!" dia tertawa. "Tuhkan," dia memperbaiki bunga yang sudah kurang rapih. "Bunganya jadi rusak."
Carla tersenyum begitu bahagia. Dia masih memegang bunganya dengan kedua tangannya, memegangnya pun dengan erat. Kedua matanya memperhatikan Restu yang sedang menyedot minumannya, memandangnya penuh arti.
Menyadari pandangan Carla yang melihat dirinya. Restu dengan cepat-cepat membersihkan mulutnya. "Kenapa?" tanyanya. "Aku ganteng, yah?" dia tersenyum sipit lebih dekat.
"Aku gak nyangka bisa keluar bareng kamu. Aku gak nyangka kita bisa kenal lagi." Ujar Carla sambil tersenyum-senyum sendiri. Dia emang benar-benar bahagia. Senyumnya pun tak bisa dia hentikan setelah Restu bisa menghilangkan badmood-nya.
Restu tersenyum melihat Carla. Namun, tiba-tiba wajahnya menjadi serius. "Aku mau minta maaf sama kamu."
"Udahlah. Yang dulu, ya biar dulu. Yang sekarang, ya biar sekarang kita jalanin." Carla menyimpan bunga. Dia kembali menatap Restu. "Kita mulai dari awal, kalo emang kamu pengen jalanin lagi." Dia tersenyum.
Restu tersenyum, lalu memegang tangan kiri Carla dengan tangan kanannya. "Aku bener-bener minta maaf udah gak hargain kamu. Aku mau kita bareng lagi," Pegangannya semakin erat. "Bertahun-tahun aku jadi orang yang bodoh udah ninggalin kamu, berjuang buat orang yang salah."
Carla tersenyum. "Waktu itu kita masih kecil. Aku ya berpikir egois. Ya . . . . udahlah jangan dibahas." Dia tertawa kecil. Baginya, mengenang masa kecilnya yang lebay memang memalukan, pantas untuk ditertawakan.
"Kamu mau 'kan jalanin lagi sama aku?" wajah Restu benar-benar serius menatap Carla.
Saat mendengar ajakan itu. Jantung Carla berdebar, dalam hatinya bertanya-tanya. Ini bukan mimpi 'kan? Ini bukan mimpi 'kan? Wajahnya tanpa ekspresi. Begitupun Restu, dia terlihat tegang menunggu jawaban dari Carla.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERIHAL MENGIKHLASKAN
Dla nastolatkówTak ada hal yang harus Carla tolak jika dia datang kembali. Walau sudah berulang kali perjuangannya tidak dihargai. Jika dia menolak. Mungkin itu adalah hal paling bodoh selama 3 tahun ini dia perjuangkan dan menunggu. Laki-laki itu datang tanpa keb...