Carla memarkirkan mobilnya di parkiran mesjid Agung. Dia sengaja meluangkan waktu setelah pulang sekolah untuk menghabiskan waktu sendirian dan untuk beribadah. Dia mengambil wudhu, karena waktu yang sudah semakin sore. Setelah itu dia keluar dengan baju yang sudah diganti, lalu masuk ke dalam mesjid.
****
Difa berjalan ke arah pencucian kaki. Dia menghentikan kakinya setelah melihat plat nomor mobil yang dia kenal. Dia tahu, dia yakin, ini mobil milik siapa. Dia kembali menghampiri motornya, namun pikirannya terbayang-bayang kalimat Ibunya malam tadi.
"Tadi Carla kesini," kata Bu Rima sambil menyimpan susu coklat untuk Difa.
"Udah lah, Bu." Difa merasa masalah membahas tentang itu.
"Waktu kalian udah cukup, sekarang kalian balik lagi, perbaiki semuanya." Pinta Bu Rima yang semakin sengaja membahas.
Difa menatap Ibu serius. "Bu," dia memegang tangan Ibunya. "Ini udah jadi keputusan aku, gimana pun ke depannya." Ujarnya yang sebenarnya dalam hatinya dia merasa kurang yakin.
"Ibu tahu, kamu bohongin diri kamu sendiri. Yang barusan kamu katakan, itu cuman keegoisan kamu." Nasehat Bu Rima.
Difa terdiam. Dia meninggalkan Ibu. Entah alesan apa lagi yang harus dia katakan, sampai dia harus menghindar dari Ibunya. Dia mengakui, apa yang dikatakan Ibu memang benar, namun dia berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap dalam keputusannya.
"Tet..." Suara klakson mobil menyadarkan Difa dari lamunannya.
Difa memutar balik kakinya, berjalan menghampiri tempat cuci kaki untuk mengambil wudhu. Pikirannya terasa bingung. Dia menarik nafas dalam-dalam, perlahan dia keluarkan. "Semoga Tuhan kasih petunjuk yang lebih baik." Dia melanjutkan langkahnya lebih yakin. Dia serahkan semuanya pada Allah, yang terpenting dia lebih dulu mengambil wudhu, lalu shalat untuk lebih tenang.
Setelah selesai shalat, Difa duduk dan pikirannya kembali teringat dengan keputusannya. Jujur, sebenarnya dia ingin bertemu dengan Carla. Namun dia ingat kembali dengan keputusannya. Sayangnya, niat itu terluluhkan, saat dia melihat perempuan itu keluar dari pintu keluar mesjid dengan kerudung dikepalanya sampai menghalangi tubuhnya, sweater dan dengan rok berwarna hitam. Dia begitu cantik, menebarkan senyuman pada setiap orang di sekitarnya.
"Car," teriak Difa pada akhirnya. Entahlah, dia tak menyadari kalimat itu dikeluarkannya.
Carla menoleh kanan kiri, mencari siapa yang memanggil namanya. Dia terkejut, saat melihat laki-laki yang selama ini dia rindukan berdiri tegak beberapa meter dari posisi berdirinya. Jantungnya begitu berdebar. Difa terlihat tampan.
Difa berjalan menghampiri Carla. Sulit untuk menahan kakinya. Carla tersadar dari lamunannya. Carla salah tingkah.
"Car," Difa tersenyum, begitu manis. Senyum itu sudah lama tak Carla lihat.
"Hai," Carla melambaikan tangan, lalu memalingkan wajahnya karena merasa malu.
Difa mengajak Carla untuk mengobrol, lalu mereka duduk di tangga depan.
"Kamu gimana kabarnya?" Difa memulai percakapan.
"Aku baik," jawab Carla. "Kamu gimana?"
"Alhamdulillah, aku juga baik." Difa tersenyum.
Carla terdiam. Dia hanya tersenyum-senyum sendiri dengan wajahnya yang dia palingkan dari Difa.
"Kamu cantik pake kerudung." Puji Difa yang sejak tadi dia pendam dalam hatinya.
Carla tersenyum tersipu malu. Namun dengan cepat wajahnya berubah menjadi serius. "Aku mau minta maaf," dia menunduk dengan seribu rasa bersalah. "Aku tau, aku salah, aku,"
"Udah Car, gak ada yang salah." Potong Difa.
"Aku mau kita kayak dulu, aku mau kita bareng lagi, aku mau kita baik-baik aja, aku nyesel nyianyiain kamu," Carla begitu cepat mengatakannya. "Ternyata aku gak mau kehilangan kamu, karena aku sayang sama kamu." Dia memberanikan diri untuk mengatakan kalimat itu yang selama ini dia pendam.
Difa cukup terkejut mendengar pernyataan Carla. Dia terdiam.
Difa yang terus terdiam, membuat Carla semakin khawatir. "Kamu gak maafin aku?" tanyanya dengan hati-hati.
Difa tersenyum. "Gak ada alesan aku buat gak maafin kamu." Kalimat itu dengan jelas dan yakin diucapkannya. Seketika dia lupa dengan keputusannya beberapa minggu lalu.
Difa mengajak untuk Carla makan siang. Awalnya dia mengajak ke cafe yang sering mereka kunjungi, namun Carla menolak.
"Kita harus mulai semuanya dari awal," ujar Carla saat dia akan masuk ke dalam mobilnya. "Dulu, kamu pilih tempat itu karena ada alesannya untuk aku. Sekarang, kita harus ubah semuanya." Dia tersenyum.
"Jadi, Nyonya mau makan dimana?" tanya Difa sambil tertawa kecil.
Carla terdiam, mencari akal. "Kita makan di atas." Yang dia maksud cafe yang berada di atas puncak.
Akhirnya mereka pergi ke atas Puncak Toga untuk makan di cafe Chocolate. Carla mengendarai mobilnya dan Difa mengendarai motornya. Setelah sampai, dengan cepat mereka memesan makanan. Sambil menunggu, mereka mengobrol.
"Indah yah," Difa memulai perbincangan.
"Kapan kamu ngajak aku liat pemandangan lebih indah lagi?" tanya Carla. Sebenarnya dia menagih janji Difa yang akan menemaninya untuk traveling.
"Bentar lagi 'kan taun baru, kita berangkat keliling Indonesia."
Carla terdiam. Ingatannya terbang pada kejadian satu tahun, dimana Restu berjanji akan berlibur saat libur sekolah dan taun baru. Namun semua rencananya naas, hilang begitu saja. Carla melihat jam tangannya, melihat tanggal. Menunjukkan tanggal 27-November.
"Lusa, hari dimana satu tahun aku kecelakaan dan dimana Restu meninggal." Ujar Carla pelan. Tanggal dimana semua itu terjadi, tepat tanggal 29-November.
"Udah satu tahun lagi, gak kerasa." Tangan Difa mengambil makanan yang diberikan oleh pelayan.
"Boleh 'kan aku ke makam Restu?" tanya Carla dengan hati-hati.
Restu terdiam beberapa detik, membuat hati Carla berdebar.
"Boleh." Jawab Difa sambil tersenyum.
*sx
KAMU SEDANG MEMBACA
PERIHAL MENGIKHLASKAN
Dla nastolatkówTak ada hal yang harus Carla tolak jika dia datang kembali. Walau sudah berulang kali perjuangannya tidak dihargai. Jika dia menolak. Mungkin itu adalah hal paling bodoh selama 3 tahun ini dia perjuangkan dan menunggu. Laki-laki itu datang tanpa keb...