32. Badboy

140 5 0
                                    

"Kamu mau ngajak aku kemana?" tanya Carla sambil menyuapi es krim pada mulut Difa. Kini mereka sedang perjalanan ke rumah Difa setelah berziarah.

"Aku mau ngajak kamu ke Papua," jawab Difa sambil melihat Carla.

Carla mengerutkan dahinya. "Ada apa disana?" tanyanya kebingungan. "Gunung?"

"Malah gunung lagi, masa lo gak tau di sana ada apa sih."

Carla berpikir sejenak.

"Jangan ngomong lo amnesia lagi." Sindir Difa.

"Raja ampat?" tanya Carla.

Difa mengangguk yakin.

Carla tersenyum, begitu lebar. "Janji?" dia menjulurkan jari kelingkingnya. "Gak akan tinggalin aku." Lanjutnya.

Difa pun menyilangkan jari kelingkingnya dengan jari Carla. "Janji!" lalu mereka tertawa bersama.

Tiba-tiba handphone Difa bergetar. Carla menoleh, namun Difa dengan cepat membawa handphone-nya dengan agak panik. Dia mengabaikan handphone-nya, lalu menyimpan di selipan pintu mobil.

"Dari siapa?" tanya Carla.

"Udahlah, gak penting." Jawab Difa yang bodo amat. "Aku lagi nyetir."

Carla kebingung, tak biasanya dia melihat Difa yang seperti ini. Itu hanya sebuah chat yang masuk, bukan telepon, bahkan dulu Difa saat menyetir pun mengangkat telepon.

****

Setelah selesai makan malam, Carla masuk ke dalam kamar Difa. "Kenapa fotonya gak ditempel lagi?"

Difa mengambil foto-foto Carla yang dia simpan kemarin. "Sekarang lo bantuin gue," suruhnya sambil memberikan fo-foto itu. "Gue mau mandi."

Carla senyum, lalu dia menempelkan foto-foto sesuai keinginannya. Saat dia sedang asyik menempel, handphone Difa bergetar. "Shella?" nama itulah yang tertulis dilayar handphone Difa. Dia menjadi ingat dengan apa yang dikatakan Bu Rima kemarin, "selalu bawa perempuan beda-beda." Kalimat itu membuatnya penasaran dan dia memberanikan diri membuka handphone Difa.

Carla membuka line Difa, melihat semua chat-nya ke bawah. "Astagfirullah." Dia tak percaya. Didaftar chat itu, banyak perempuan yang dia kenal, bahkan mungkin semunya. Kebanyakan dari anggota Ciwi Crazy. Dia membaca setiap chat dengan cepat kilat, sampai akhirnya dia tahu setiap isinya. Emosinya muncul.

Difa yang berdiri di pintu kamar mandi merasa kaget. "Car," panggilnya.

Carla menoleh beberapa detik, lalu melempar handphone Difa ke kasur. Dia pergi keluar kamar Difa. Difa memperbaiki handuk yang dia pakai di pinggangnya, lalu mengejar Carla.

"Car aku bisa jelasin,"

"Aku gak butuh itu." Jawab Carla, tanpa menoleh dan pergi dari rumah Difa.

"Aku tau, aku salah." Difa memegang tangan Carla, sampai Carla menghentikan langkahannya.

Carla membalikkan tubuhnya perlahan untuk berhadapan dengan Difa. Dia terdiam beberapa detik. "Kenapa kamu lakuin itu?"

"Aku cuman pelampiasin semuanya sama mereka." Difa begitu serius. "Aku kehilangan kamu, aku sepi, aku butuh temen, aku berusaha buat suka sama orang lain, dari semua yang aku deketin, gak ada satu orang pun yang bikin aku bener-bener tertarik." Dia melangkah lebih dekat. "Tapi pada akhirnya hati aku buat kamu. Aku sayangnya sama kamu."

"Kamu pasti pernah ngelakuin hal kayak gini 'kan?"

Carla terdiam. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian masa lalunya. Ya, dia pernah seperti itu. "Ya, aku pernah." Itu terjadi saat dia berusaha untuk melupakan Restu sebelum bertemu lagi. Namun iya, pada akhirnya hal itu sulit dan ujung-ujungnya kembali mempertahankan perasaannya.

"Aku anterin kamu pulang, yah?" tawarkan Difa. "Aku pake baju dulu." Dia menarik tangan Carla untuk masuk kembali ke dalam rumah.

Difa mengantarkan Carla menggunakan mobil. Di mobil mereka hanya terdiam. Carla masih terlihat badmood. Difa berpikir keras, berusaha untuk mencari topik yang pas untuk dibahas.

"Kamu inget gak," Difa akhirnya mendapatkan topik. "Dulu, waktu kamu masih pacaran sama Restu, kita pernah ke cafe Saflor dan waktu itu aku bilang sesuatu sama kamu."

"Bilang apa?" Carla menoleh pada Difa yang sedang menyetir, sambil pikirannya berusaha untuk mengingat kejadian itu.

"Inget gak?"

Carla terdiam. Pikirannya melayang ke masa lalu, dia berusaha mengingat apa yang dibahas Difa. Namun dia benar-benar tak ingat. "Gak." Jawabnya dengan singkat.

Difa menghembuskan nafas kesal. Dia merasa sia-sia, dia sudah menunggu Carla untuk menjawab dengan harapan mengingatnya, tapi jawabannya hanya sesingkat itu.

"Gue juga mau kok, jadi bagian kedua dari lo." Senyum Difa semakin jahil. "Suatu saat, gue pasti nomer satu dihidup lo." Dia merasa yakin.

Carla tertawa mendengarnya. Setelah merasa puas, dia memasang wajah polos. "Jangan ngarep!"

"Lagian, lo cuman buat pelampiasan gue, disaat dia gak ada buat gue." Ujar Carla sambil mengunyah makanan miliknya. "Jadi, lo jangan geer."

"Liat aja nanti." Ujar Difa enteng.

Difa tersenyum melihat Carla setelah selesai menceritakannya. "Sekarang nomer satu 'kan?" tanyanya dengan percaya diri. "Sekarang bukan pelampiasan lagi 'kan?" begitu percaya dirinya mempertanyakan kalimat itu.

Carla tersenyum melihat Difa. "Makasih buat semuanya, lo udah berjuang buat gue selama ini." Berubah menjadi senyum kecewa. "Maafin gue, selama ini selalu nyainyiain lo." Ada nada penyesalan.

"Gue harus dapetin, apa yang gue pengen dapetin." Difa terus tersenyum.

Carla cemberut. "Jangan chat lagi sama cewek lain." Pintanya.

Difa tertawa kecil. Dia kira Carla sedih karena apa, ternyata karena hal yang tadi. "Siap!" dia memberikan hormat.

Difa melihat handphone miliknya yang berbunyi. Ternyata ada pesan. Carla hanya melihat Difa yang sedang memainkan handphone-nya dengan tatapan tajam. Difa tertawa kecil menyadari ekspresi Carla yang terlihat agak kesal.

"Tuh," Difa menunjukkan isi pesannya. "Itu dari om gue."

"Sekarang aja diliatin, tadi sih gak, malah ketakutan." Sindir Carla.

"Hehe," Difa tersenyum malu.

Carla meniru Difa untuk mengejeknya.

"Kita berangkat dua minggu lagi. Semuanya udah di atur, hotel, restoran, semuanya udah, lo tenang aja." Difa tersenyum lega.

Carla hanya memberikan kedua jari jempolnya sebagai tanda setuju, tanpa mengomen kembali, karena dia tahu, Difa akan selalu membuatnya bahagia dengan caranya sendiri.

"Udah lama kita gak main launchpadd." Kode Difa saat mobil sudah hampir sampai di depan rumah Carla.

Carla tahu apa maksud Difa. Akhirnya dia mengajak Difa untuk main launchpadd, sudah lama dia tak menyentuh alat musik modern itu. Difa kini sudah ahli, tanpa dilatih lagi oleh Carla, sehingga musik yang dihasilkan langsung jadi.

PERIHAL MENGIKHLASKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang