Difa masuk ke dalam kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, untung saja keluarganya sudah tidur, sehingga mereka tak mengetahui kondisinya sekarang. Dia masuk ke kamar mandi, berhadapan dengan cermin. Dia memperhatikan tubuhnya yang sudah berantakan. pelipisnya membiru, hidungnya sudah mengeluarkan darah sejak dia masih di mobil dan kini kembali mengeluarkan darah, kedua ujung bibirnya berdarah dan bagian gusinya pun berdarah. Belum lagi, luka di lututnya bekas tadi dia bermain skateboard. Perutnya masih terasa sakit, tadi terjatuh di track dan terkena pukulan Alan. Dia sudah kesakitan secara fisik. Dia sudah korbankan fisiknya.
Difa merasa lelah dengan apa yang telah semuanya dia korbankan. Hati yang selalu sabar menghadapi semuanya, dia memendam semua itu. Sekarang secara fisik. Dia teringat dengan kata-kata Alan, jika dari dulu Carla memang tak mau bersamanya. Bahkan sampai semua dikorbankan pun, Carla tetap tak mau. Carla bahkan bermain dengan laki-laki lain, seenaknya memperlakukan Difa.
Difa memutuskan untuk berhenti, tak akan lagi dia berkorban, walau hatinya tetap ada untuk Carla. Namun dia pikir untuk mengakhiri semuanya. Memutuskan untuk pergi dari kehidupan Carla, membiarkan Carla dengan siapapun untuk kebahagiaannya. Dia memilih untuk menerima ajakan ayahnya. Beberapa minggu lalu, ayahnya mengajak dia untuk tinggal bersama di Wina, Austria.
Mata Difa tertuju pada handphone-nya yang terus bergetar, ternyata dari Carla. Carla spam chat di line dan memanggil beberapa kali. Difa sengaja tak memperdulikan, walaupun hatinya berat harus melakukan ini. Ini demi kebaikan semuanya. Dia memberanikan diri hanya read.
Difa menyalakan shower. Membersihkan tubuhnya dengan rasa perih oleh luka, luka fisik maupun batin yang harus meninggalkan Carla dan harus belajar mengikhlaskan perasaannya.
Difa sudah rapih menunggunakan baju untuk tidur. Dia memperhatikan setiap foto Carla yang tertempel di dinding kamarnya. Dengan berat hati, satu persatu dia lepas foto itu. Berpuluh-puluh foto dia sulit mendapatkannya, namun kini foto itu harus dia buang. Dibuang, itu hal yang sangat berat, dia hanya menyimpannya di lemari. Bukan foto Carla saja, namun foto bersama dirinya harus dia simpan, entah sampai kapan dan entah akan dilihat lagi atau tidak.
Difa melihat handphone-nya yang lagi-lagi bergetar.
*****
Waktu sudah pukul 3 pagi. Namun Carla belum bisa tidur. Pikirannya tertuju pada Difa. Dari jam 12 dia menghubungi Difa, namun tak ada balasan dan tadi pukul 2, Difa hanya me-read tanpa membalas. Dia semakin khawatir, terutama dia tak pernah Difa seperti ini terhadapnya.
"Dif kamu gak apa-apakan?" kalimat itu Carla kirim berkali-kali namun tak ada satu pun yang terbalas. Kini dia cukup lelah mengetik selama 3 jam.
Carla terdiam. Memikirkan apa kesalahannya selama tadi siang saat mereka bersama-sama. Karena gue tinggal? Itu alasan yang jelas membuat Difa marah sebenarnya, namun dia tahu Difa. Menurutnya, itu tak akan dipermasalahkan laki-laki yang penyabar itu.
Untuk Carla, rasanya sakit ini terjadi. Dia tak pernah diperlakukan Difa seperti ini sebelumnya. Rasa takut kehilangannya semakin dia rasakan. Dia merasa menyesal dengan perlakuan selama ini pada Difa. Dia merasa jahat telah menyianyiakan orang yang berjuang untuknya. Namun dia lepas begitu saja. Seharusnya dia beruntung.
Carla sadar dengan apa yang selama ini dia inginkan dan dia lakukan salah. Menyuruh Difa jadi orang lain, mencari orang lain mirip dengan Restu. Itu hal yang benar-benar salah. Seharusnya dia bisa berpikiran dewasa, menerima keadaan, jika sosok Restu di dunia itu sudah tidak ada dan bahkan tidak ada disosok orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERIHAL MENGIKHLASKAN
Teen FictionTak ada hal yang harus Carla tolak jika dia datang kembali. Walau sudah berulang kali perjuangannya tidak dihargai. Jika dia menolak. Mungkin itu adalah hal paling bodoh selama 3 tahun ini dia perjuangkan dan menunggu. Laki-laki itu datang tanpa keb...