31. Ikhlas

190 6 0
                                    

Carla tak sendirian lagi, dia dijemput Difa. Semuanya berjalan seperti biasa lagi, mereka menghabiskan waktu bersama. Tak ada rasa rindu yang harus mereka rasakan kembali. Carla meminta untuk makan siang di rumah, mbak Putri sudah menyiapkan masakkan khusus untuk mereka berdua sebelum berangkat kerja. Setelah selesai makan, Difa bingung dengan maksud Carla mengajaknya ke rumah. Tak biasanya.

"Ada apa kamu ngajak ke sini?"

"Kamu bantu aku beres-beres." Carla mengambil piring bekas makan Difa.

"Kamu pikir, aku babu?" Difa kesal. "Aku 'kan calon suami kamu." Lanjutnya mereraikan ketegangan Carla.

Carla melepas nafas kesal. "Rese!" dia membuka pintu ruangan yang ada di dapur. Dia meminta Difa megikutinya.

Carla masuk ke dalam ruangan itu, dengan perasaan biasa saja, tak ada rasa sedih sama sekali, tak ada rasa teringat sama sekali, semua begitu biasa aja. Difa terkejut melihat isinya. Begitu banyak benda, artinya begitu banyak kenangan antara Carla dan Restu. "Terus ngapain kamu bawa aku kesini?"

"Kita bakar semua barangnya." Carla mengambil beberapa figura.

Difa memegang tangan Carla untuk menghentikannya. Mereka saling berpandangan. "Masa lalu gak harus dibuang." Ujar Difa.

"Masa lalu gak harus aku simpen di ruangan ini, masa lalu bisa aku simpen di ingatan aku." Carla kembali mengambil figura lagi.

Difa hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Perempuan itu memang selalu benar dan bisa mengalahkan dirinya. "Barang yang lainnya, kita kasih aja ke panti asuhan." Usulnya sambil memegang setiap benda-benda selain figura, seperti baju, kalung, gelang, cincin, boneka dan lainnya.

"Barang mana yang mau kamu simpen?" tanya Difa tiba-tiba.

Carla terdiam. Dia menoleh pada Difa. Dia kebingungan.

"Aku buang semuanya." Jawab Carla agak jutek. Lama kelamaan dia merasa kesal.

Difa mengalah, dia tak berbicara lagi.

"Lepas semua foto dari figura." Suruh Carla.

Setelah semua foto dilepas, Carla membawanya ke depan bagasi. Menyobek semua foto, memperkecil agar mudah dibakar. Tanpa basa basi, dia membakar semua foto. Dirinya dan Difa hanya berdiri tegak bersampingan, melihat api yang terus semakin membesar membakar setiap lembaran foto. Sejak dari dalam ruangan, mereka tak berbicara lagi.

Setelah api padam. Carla meminta Difa untuk mengantarnya ke panti asuhan yang ada di Cangkudu.

"Baranganya masih bagus, masa mau dikasih gitu aja. " Difa mengendarai mobilnya. "Mending buat aku." Candanya.

Namun canda Difa direspon Carla dengan kesal. "Ngapain sih barang-barang kayak gini masih harus disimpen. Udah deh, jangan bikin aku bete!" kesalnya.

Difa menghembuskan nafas dengan sabar. "Iya maaf, cantik." Godanya.

****

Carla berdiri di lorong piala sekolahnya, menunggu Difa menjemput sekolah. Namun sudah 30 menit dia menunggu, Difa tak datang-datang. Dia sudah badmood. Ingin rasanya dia memilih untuk pulang sendiri, tetapi dia sedang malas untuk berjalan, belum lagi awan yang sudah mulai mendung. Beberapa menit kemudian, turun air hujan dengan derasnya. Dia sudah kedinginan dan itu membuat dirinya semakin kesal.

"Mau bareng?" tanya Ilhan tiba-tiba yang baru saja datang dari dalam sekolah.

Carla terdiam, matanya menatap Ilhan.

"Car," Ilhan menyadarkan Carla.

Carla tersadar dari lamunannya, dengan cepat dia gelengkan kepalanya berulang kali untuk menolak ajakan Ilhan. Tak lama, Ilhan berpamitan untuk pulang.

Akhirnya setelah menunggu 40 menit, Difa datang menghampiri Carla sambil memakai payung. Dia tersenyum menggoda Carla, namun Carla tak sama sekali tergoda, dia tetap diam, cemberut seperti bebek.

"Kamu pake jaket aku, yah." Difa melepas jaket yang terpakai di tubuhnya.

"Gak!" jawab Carla galak.

"Ya udah, kita pulang," ajak Difa sambil menggandeng Carla, tetapi Carla tetap diam.

Difa menghembus nafas pasrah, dia agak kesal. "Aku abis nganter dulu anak-anak, hari ini ada renang." Katanya dengan pelan dan lembut.

Carla tetap diam.

Difa menunggu Carla berbicara, tetapi tak berbicara juga. Akhirnya dia menghembuskan nafas pasrah lagi. "Setidaknya, aku nganter temen, bukan orang yang pernah bareng sama aku." Katanya dengan tajam sambil tangannya membawa payung untuk pergi.

Carla mengerti dengan kalimat itu. Dia semakin kesal. Dia menahan Difa yang hendak akan melangkah. "Be-ri-sik!" dengan tajam kalimat terpotong-potong itu dia katakan tepat di wajah Difa. Tangannya merebut payung yang dipegang Difa, lalu pergi meninggalkan Difa.

Carla masuk ke dalam mobil, diikuti dengan Difa dengan tubuh yang basah kuyup. Dia merasa kasihan dengan Difa yang pasti kedinginan, belum lagi dinginnya AC mobil.

"Kamu ada pakean gak?" Carla mencari baju di kursi belakang. Dia menemukan bajumya. "Kamu ganti dulu pakean, biar aku yang nyetir." Tanpa basa basi, Difa pindah ke belakang untuk berganti baju terlebih dahulu dan Carla menyetir.

"Sekarang kita mau kemana?" tanya Carla yang seketika menjadi akrab, seolah-olah tidak ada kejadian seperti tadi. Berbeda dengan Difa, sejak tadi diam karena ada rasa salah yang mengganjal.

"Aku minta maaf," ujar Difa pada akhirnya yang mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.

Carla mengerutkan dahi kebingungan. "Buat?"

"Tadi aku ngomong, gitu."

Carla tersenyum pada Difa. "Udahlah, gak apa-apa. Emang gak seharusnya tadi aku gak marah kayak gitu."

Difa membalas senyum Carla. "Kamu baik yah," pujinya. "Pasti dulu Restu punya kamu beruntung banget." Ujarnya keceplosan.

Mimik wajah Carla berubah datar, tanpa ekspresi setelah mendengar kalimat itu. "Tuh 'kan kamu, baru aja dimaafin." Kesalnya.

Difa tersenyum nyegir. "Hehe, maaf," mohonnya lagi. "Tadi keceplosan."

*****

Untung saja hujan reda tidak terlalu sore, sehingga Carla dan Difa bisa ziarah ke makam Restu. Carla membawa rangkaian bunga. Setelah berdiri di samping makam Restu, tak ada rasa sedih yang mendalam, rasa sedihnya biasa saja, hanya rasa sedih kehilangan.

"Hari ini, hari kecelakaan tahun lalu," ujar Carla. "Kamu tenang disana, kamu bahagia disana."

Difa mengusap-ngusap pundak Carla. "Semoga, kita semua bisa kumpul di surga nanti."

"Amin."

Carla meletakkan bunga di atas makam Restu, lalu dia memegang batu nisa. "Aku ikhlas." Dia meneteskan air mata.

"Aku paham, ini udah jalan yang di Atas. Ini udah takdir kita untuk berpisah dan kamu pergi untuk selama-lamanya."

Suara gemuruh langit sudah terdengar lagi. Setelah cukup mengeluarkan unek-uneknya selama ini, Carla mengajak Difa untuk segera pulang. Akhirnya mereka meninggalkan tempat makam. 

PERIHAL MENGIKHLASKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang