26. Pengkhianatan

150 6 0
                                    

"Aku ada janji sama Anggun." Ujar Carla memberanikan diri mengatakan kalimat itu. "Kamu bisa 'kan pulang sendiri?"

Difa terkejut mendengar kalimat itu. Setega itu Carla, membiarkan orang yang terluka deminya ditinggal begitu saja. "Kamu mau kemana?"

"Aku ketemuan di empang."

"Hati-hati, yah." Difa senyum terpaksa. Dia tahu, ada sesuatu. Dia kenal Carla, dia tak pernah keluar bersama teman-teman sekelasnya.

Carla meninggalkan Difa.

Difa berusaha terbangun, namun perutnya masih terasa sakit, akhirnya dia dibantu Farhan.

"Kemana lo?" tanya Farhan.

"Carla gak biasanya kayak gini," Difa melangkah, namun dia hampir terjatuh. "Ada sesuatu."

"Lo sampai kapan gini?" Farhan membantu Difa berdiri tegak. "Sabar ada batasnya 'kan?"

"Masih bisa jalan sendiri!" ujar Difa kesal yang merasa tak dapat dukungan dari sahabatnya itu. Dia berusaha berjalan tegak dengan berulang kali hampir terjatuh. Sakit di perutnya yang membuat dia merasa lemas.

Farhan tak tega melihat sahabatnya, akhirnya dia membantu Difa untuk berjalan.

Difa mengendarai mobilnya dengan baik-baik saja. Dia melaju ke arah empang. Ada Carla. Namun, bukan bersama Anggun. "Anjing!" dia memukul stir setelah melihat laki-laki itu adalah anggota Opu Daeng. Artinya dia pengkhianat.

Difa kesal. Ingin rasanya dia turun dari mobil, lalu menghajar laki-laki bernama Alan itu sampai habis, agar tak mengganggu perempuan yang dia sayang lagi. Dia tak ingin melihat mereka berdua lagi, dengan cepat dia melaju dengan kecepatan tinggi.

"Kamu dimana?" tanya Difa dalam chat line pada Carla.

Namun tak ada balasan, sudah jelas, tadi Carla sedang memegang handphone-nya. Perempuan yang Difa sayang telah membuatnya sakit hati lebih dari apapun. Dia bermain skaterboard untuk Carla sampai dia terluka, namun Carla tega, meninggalkannya hanya untuk laki-laki lain yang jelas semua orang tahu kebrengsekannya.

*****

Difa menghisap rokoknya. Kini dia sedang ikut berkumpul dengan Opu Daeng di cafe Saga. Baginya, berkumpul bersama teman-teman membuat dia lupa dengan masalah pribadinya. Namun, dia terus diam, pikirannya tertuju pada Carla. Dia menghubungi Carla untuk memastikan perempuan itu tidak diapa-apakan oleh Alan.

"Kamu dimana?"

"Udah pulang?"

"Rumah" jawab Carla singkat.

Difa tak membalas. Dia masih merasa kesal.

Seseorang menghampiri tempat mereka kumpul, ternyata Alan. Amarah Difa menaik saat melihat laki-laki yang menjadi pengkhianat itu melewati kursi yang dia duduki tanpa rasa salah. Dia berdiri, berjalan menghampiri Alan, lalu menarik lengan kiri temannya itu. Tonjokkan tangan kanan Difa terpukul dibagian pelipis Alan, membuat Alan akan membalas, namun Farhan menahannya.

Alan melepaskan tangannya dari tahanan Farhan. Merapihkan bajunya. "Apa maksud lo?" tanyanya dengan nada menantang, tetap tanpa rasa salah.

Difa tertawa kecut. "Masih aja lo gak mau ngaku?" dia mengambil rokok dari mulutnya, lalu dilemparkan ke wajah Alan, membuat Alan marah dan meluncurkan tonjokkan. Dibalas lagi dengan Difa. Mereka dileraikan, ditahan oleh 2-3 orang.

"Anjing lo!" Difa melemparkan ludah. "Udah berkhianat, gak mau ngaku salah juga!" dia berusaha melepaskan tahanan teman-temannya.

Alan tertawa kecut. "Gue? Salah? Gak salah lo ngomong?" dia begitu santai. "Dari dulu, dia gak mau 'kan sama lo? Udah lo lakuin semuanya, tetep aja 'kan dia gak mau? Lo tuh buang-buang waktu."

Mendengar kalimat itu membuat amarah Difa semakin menjadi-jadi. Dia terus berusaha melepaskan tahanannya, namun masih dapat tertahan. Tangannya sudah tak sabar menghajar laki-laki brengsek itu. "Seenggaknya, gue gak main-main sama dia, gak kayak lo, anjing!"

Alan tertawa kecut setelah mendengar kalimat itu. "Udahlah. Perjuangan lo juga gak akan dihargain sama dia. Lagian, jangan salahin gue kalo gue deket sama dia." Dia melepaskan tangannya dari teman-teman yang menahannya. Dia berjalan menghampiri Difa dan berbisik. "Dia yang hubungin gue duluan."

Amarah Difa sudah tak tertahan lagi. Dia telah lepas dari tangan teman-temannya dan menghajar Alan habis-habisan, akhirnya mereka berkelahi kembali. Teman-temannya sampai kesulitan untuk menghentikan mereka.

"Tubuh dia bagus." Ujar Alan pelan, tepat di depan wajah Difa. Lalu dia memutuskan untuk mengakhiri perkelahian, meninggalkan cafe.

"Anjing!" Difa memukul kayu di dekatnya. Karena cafe itu ciri khas dengan bahan-bahan alami.

"Dif," Farhan membantu Difa untuk duduk, tubuhnya sudah lemas.

Sendi memberi minum Difa.

"Lo buang waktu kalo cuman buat hal kayak gini," Farhan menyalakan rokoknya. "Lo bisa jadi diri lo sendiri, lo bisa dapetin cewek lain, banyak yang mau sama lo."

Difa melotot melihat Farhan. Amarahnya mulai menaik.

"Ya, maksud gue bukan gitu," Farhan merasa salah berbicara dan kebingungan. "Gue cuman gak mau sahabat gue, gini terus." Dia mereraikan.

Difa tak menjawab. Dia membawa jaketnya dan meninggalkan cafe.

*****

PERIHAL MENGIKHLASKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang