Akhirnya mobil yang dikendarai Difa dapat terbebas dari kemacetan kota Bandung. Hatinya lega. Namun masih ada perasaan menganjal. Sejak tadi hatinya gelisah memikirkan Carla, rasa khawatirnya tiba-tiba muncul. Saat macet, dia sudah berkali-kali menghubungi Carla, namun tak ada jawab dan hanya bunyi sambungan yang terdengar. Difa mencoba menghubungi bang Irfan, namun tak ada jawaban. Dia terus mencoba.
"Abang!" perempuam kecil bernama Rania memeluk abangnya itu sampai handphone pun terlepas dari tangan Difa.
Handphone melayang keluar kaca. Difa melihat dari spion, namun naas, handphonenya sudah terlindas oleh mobil lain. "Rara!" kesalnya sambil memukul stir. "Handphone abang!" kembali dia melihat ke spion untuk melihat handphonennya, namun sudah tak terlihat karena mobil yang melindas handphonenya menghalangi.
"Mah handphone abang!" teriak Difa yang masih kesal. Tangannya kembali menyetir. "Kamu sana!" dia menyuruh Rania untuk pindah dari pangkuannya.
"Udah kelindas Bang, kamu bisa 'kan pake yang i-phone." Ujar Bu Rima. "Lagian kamu gak bisa diem." Dia memangku Rania yang masih terlihat kaget.
"Mah, itu buat ngabarin Carla!" suara Difa masih saja keras. Terlihat dia masih kesal. "Ah!" Dia memukul stir.
Kini Difa bingung harus mengabari Carla dengan cara bagaimana. Akhirnya dia memutuskan meminjam handphone mamahnya. Dia mencari id line Carla dengan penambahkan lewat line mamahnya. Dia menulis pesan.
"Carla kamu dimana?"
"Kamu baik-baik aja?"
"Carla handphone aku rusak"
"Carla ini aku Difa"
"Carla tolong bales"
"Car dari tadi aku khawatir"
"Kamu baik-baik aja?"
Tetap tak ada jawab. Difa ingin menghubungi bang Irfan, namun dia tak tahu id line bang Irfan. Dia semakin bingung. Dia pun menyetir dengan penuh rasa kesal dan ingin segera pulang ke Sumedang. Namun dia harus menemani mamah beberapa hari ke depan di Bandung untuk acara keluarga dan acara kantor mamahnya.
Tak ada hal yang lain dilakukan Difa selain berdoa. Berdoa untuk menghilangkan rasa khawatirnya, meyakinkan tidak terjadi apa-apa pada Carla.
"Mah kita pulang kapan?" tanya Difa setelah meeting mamahnya selesai.
"Besok lusa." Jawab Ibu singkat. Tangannya masih sibuk memilih beberapa berkas.
Hati Difa semakin tak karuan. "Mah, bisa 'kan Difa pulang duluan malam ini juga?" akhirnya dia memberanikan diri mengatakan itu. "Mah, Difa khawatir sama Carla. Dari kemaren dia gak bisa dihubungi."
Akhirnya Ibu Rima menghentikan pekerjaannya. Dia melihat Difa yang wajahnya sudah kusut. "Ya udah, kamu pulang dulu."
Difa merasa lega mendengar kalimat itu. Akhirnya pukul 6 sore dia pulang ke Sumedang untuk menemui Carla yang hilang sejak tadi kemarin.
****
Sudah seharian ini Carla diam di kamar. Bang Irfan, mbak Putri dan Ridwan sudah membujuk Carla untuk keluar kamar, namun semuanya tak berhasil. Sampai sekarang pukul 5 sore pun Carla belum keluar, makan, mandi maupun dia untuk shalat. Dia tak ingin melakukan sesuatu selain berulang-ulang membuka setiap album, buku ceritanya dulu dengan terus pikirannya mencoba mengingatkan setiap kejadian yang dia baca, tidur dan menangis walaupun matanya sudah sangat sembab.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERIHAL MENGIKHLASKAN
Fiksi RemajaTak ada hal yang harus Carla tolak jika dia datang kembali. Walau sudah berulang kali perjuangannya tidak dihargai. Jika dia menolak. Mungkin itu adalah hal paling bodoh selama 3 tahun ini dia perjuangkan dan menunggu. Laki-laki itu datang tanpa keb...