34. Kepergian

179 5 0
                                    

Carla membuka matanya perlahan, ada rasa sakit di kepalanya. "Astagfirullah." Dia berusaha mengangkat tubuhnya untuk duduk. Akhirnya ada seorang suster yang membantunya.

"Ini dimana?" tanya Carla pada seorang suster. Matanya belum dapat melihat dengan jelas.

"Kamu di rumah sakit." Jawab suster itu. "Syukur kalo kamu udah sadar."

Mendengar kata rumah sakit. Carla terkejut mendengarnya. Pikirannya melayang dengan kejadian terakhir yang dia alami. "Astagfirullah." Dia tahu semuanya. Dia melihat ke setiap ranjang. Di ranjang depannya ada adiknya yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Di samping kiri dan kanannya ada bang Irfan dan mbak Putri yang sama-sama tak sadarkan diri. Lalu dia melihat setiap ranjang sampai ranjang terakhir. Dia mencari seseorang, namun sampai ranjang paling ujung, dia tak menemukan orang itu.

"Difa mana?" tanya Carla pada suster.

Suster melihat catatan pasien ruangan nomer 15 ini. Dia mencari nama Difa. "Di ruangan ini tidak ada yang bernama Difa."

Hati Carla mulai panik. "Coba cek di ruangan lainnya."

Suster melihat kembali catatan pasien dari kamar lain yang dipegang di tangannya. "Gak ada." Jawabnya. Dia kembali melihat selembar catatan. "Memang di sini tercatat ada nama Difa sebagai penumpang, namun sepertinya belum ditemukan. Banyak sekali penumpang lain yang belum ditemukan."

Carla menutup mulut tak percaya. Air matanya mengalir. Dia tak menyangka, semua akan terjadi lagi. Kehilangan orang yang dia sayangi.

"Mbak tenang, tim masih menjalankan pencarian." Suster menenangkan Carla yang memang terlihat panik dan sedih. "Mbak harus banyak istirahat, kaki kanannya mengalami luka yang cukup parah dan benturan di kepala cukup keras."

Carla melihat kaki kanannya yang diperban. Mencari Difa membuatnya lupa dengan kondisinya. Dia memperhatikan keluarga kecilnya, dilihatnya mereka tidak mendapatkan luka yang parah.

"Mereka gimana?" Carla menunjuk pada keluarga kecilnya.

"Mereka baik-baik saja. Hanya mereka masih belum sadar." Suster tersenyum, menandakan semuanya baik-baik saja. "Saya tinggal dulu." Pamitnya.

*****

Sudah satu minggu ini Carla tinggal di Bali. Dia memilih untuk dirawat di sebuah hotel sambil menunggu kabar dari tim pencarian. Dia tak ingin pulang ke Sumedang sebelum kondisi Difa jelas. Bu Rima yang merasa terkejut dan khawatir datang ke Bali untuk mendapt informasi anaknya itu. Kini dia tinggal bersama Carla untuk menunggu kabar kelanjutan dari tim pencarian.

Carla menangis di bahu Bu Rima. "Bu, dimana Difa?"

Bu Rima ikut menangis menerima kesedihan ini. Merima anaknya yang sudah satu minggu ini menghilang. Beberapa penumpang yang di hari kejadian belum ditemukan, kini dalam satu minggu kini sudah ditemukan dan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Hal itu pun yang ditakutkan Carla dan Bu Rima. Kini hanya 3 orang yang belum ditemukan, Difa dan dua orang asli Singapura.

"Tett...." Suara bel.

Bang Irfan membukanya dengan cepat. Carla dan Bu Rima yang sedang duduk dalam kesedihan pun berlari ke arah pintu. Dugaan mereka benar, ada tim dari pencarian yang datang.

"Selamat siang, kami dari tim pencarian ingin menyampaikan jika saudara yang bernama Difa Muhammad Ergana, belum ditemukan." Ujar salah satu anggota tim pencarian. "Sebaiknya, bapak dan keluarga pulang saja ke kota asal, karena pencarian kami sudah dilakukan kemana-mana namun belum ditemukan. Kemungkinan saudara Difa tewas dan sudah hanyut di laut. Terima kasih."

Mendengar kalimat itu membuat air mata Carla dan Bu Rima pecah lagi. Tubuh Carla perlahan jatuh, tubuhnya menjadi lemas.

"Difa, Difa, Difa," nama itu terus Carla katakan.

Bang Irfan ikut merasa sedih dengan melihat kesedihan adiknya. Dia mengusap kepala Carla. "Istigfar, Istigfar, Carla." Dia berusaha menenangkan. "Ikhlas, Carla, Ikhlas." Lalu dia memangku adiknya itu untuk memindahkan duduknya di sofa.

Bu Rima memeluk Carla. "Ikhlas, Carla. Kita harus ikhlas." Terlihat jelas dari insting seorang ibu. Dia begitu yakin jika anaknya sudah tidak akan ditemukan lagi dan kalimat itu dikatakannya dengan yakin.

Carla melihat Bu Rima. Ada keikhlasan yang terlihat di wajah Ibu ketika Ibu tersenyum. "Ibu ikhlas. Kamu harus ikhlas." Air matanya tak berhenti. "Difa sudah pulang. Difa sudah tidak ada." Begitu menyakitkan kalimat itu.

Bagaimana pun kalimat itu insting dari seorang ibu kandung. Tangisan Carla semakin deras. Dia menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan, dia mencoba menenangkannya sendiri.

Mbak Putri ikut menangis dengan keadaan yang harus diterima adik iparnya itu. "Kita pulang, yah." Ajaknya.

PERIHAL MENGIKHLASKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang