33. Janji dan Takdir

155 6 0
                                    

Setelah urusan sekolah selesai untuk semester ini, kini Carla dan Difa sedang siap-siap untuk kebutuhan selama liburan di Papua nanti. Baru saja, mereka belanja makanan untuk kebutuhan selama di perjalanan, sebagai cemilan.

Dalam mobil hening, namun berulang kali Difa memperhatikan Carla.

"Kenapa sih?" Carla menyadari itu dan dia merasa terganggu.

"Kalo gue ninggalin lo, gimana?" tanya Difa

Carla terdiam. Perlahan dia cemberut, seketika kepergian Difa dia bayangkan. "Jangan, Dif." Mohonnya.

Difa ikut cemberut. "Aku dipaksa mamah buat ikut sama papah," nadanya begitu serius. "Sekolah di Wina, Austria."

Carla terkejut mendengar kalimat itu. Dia kira, pembahasan awal Difa hanya becanda. "Dif," nadanya begitu pelan dan tak ada semangat. "Jangan, pergi." Dia semakin cemberut.

Tiba-tiba Difa tertawa keras. "Muka lo keren." Dia terus tertawa.

Carla mengerutkan dahinya. Dia kebingungan. Dia mulai sadar, dia hanya dijahili Difa. Dia memukul lengan kiri Difa. Difa terus tertawa.

"Ya udah. Sana pergi!" Carla mulai kesal. Dia memalingkan wajahnya.

Difa menghentikan mobilnya secara mendadak. Dia melihat Carla dengan wajah serius. "Ya udah, kamu bawa mobil sendiri." Dia hendak memuka pintu.

"Eh, eh, eh," Carla menarik tangan kiri Difa. "Jangan pergi, brengsek!" Bujuknya agak hati-hati.

Difa tersenyum so tampan dengan matanya yang disipit-sipitkan. "Gue tau," ujarnya enteng. "Lo tuh emang gak mau kehilang gue." Dia dengan percaya dirinya mengatakan itu.

Carla memasang wajah jijik melihat Difa. "Ini sih, gue aja yang lagi males bawa mobil." Jawabnya dengan enteng.

Lagi-lagi mobil mengerem secara mendadak. Carla terkejut dan dia merasa salah bicara lagi. "Dif, iya maaf, aku becanda." Rayunya sambil menoleh pada Difa.

Difa tertawa mendengar kalimat yang baru saja Carla katakan. "Orang kaki gue gantel." Lalu dia mengangkat kaki kanannya dan menggaruknya. Dengan keras, dia tertawa lagi.

"Brengsek!" Carla membuang nafas kesal.

Difa terhenti dari tawanya. Dia memasang wajah serius. "Aku janji gak akan ninggalin kamu."

"Makasih." Jawab Carla singkat. Dia tak menoleh sama sekali, dia masih merasa kesal.

******

Carla dan Difa sudah packing untuk segera pergi ke Papua, untuk segera pergi ke tempat pulau terindah itu. Mereka tak berdua, ada bang Irfan, mbak Putri dan Ridwan. Tiket yang sudah disiapkan Difa tak membuat mereka banyak membuang waktu. Mereka hanya perlu pergi ke Jakarta, check in dan masuk ke dalam pesawat.

Carla duduk bersampingan dengan Difa, sambil menunggu sampai di tempat tujuan, mereka mendengarkan musik dengan headset. Sampai akhirnya mereka terlelap tidur., karena mereka merasa kelelahan dengan persiapan semalam untuk semuanya.

Tiba-tiba mata Carla terbuka saat mendengar suara yang begitu bising dari mesin pesawat. Seorang pramugara berbicara lewat audio, namun tak terdengar, karena suara bising dari mesin itu lebih keras. Penumpang sudah kelihatan begitu panik. Begitupun dengan bang Irfan, mbak Putri dan Ridwan. Bang Irfan hendak menghampirinya, namun pesawat tiba-tiba miring. Sehingga membuat bang Irfan beberapa kali terjatuh.

Carla ikut panik. Dia berusaha membangunkan Difa, namun laki-laki di sampingnya itu tak bangun-bangun. Dia melihat mbak Putri yang hanya duduk santai, memegang erat kursi dan berulang kali mengatakan "Astagfirullah." Kalimat ampunan itu terus diucapkannya.

Carla berusaha untuk tenang. Dia memegang tangan kanan Difa. "Astagfirullah." dia berulang kali mengucapkan kalimat itu. Sampai akhirnya yang terasa hanya pesawat yang tidak semakin terkendalikan dan turun begitu cepat ke bumi.

*BOOM*

PERIHAL MENGIKHLASKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang