Abram Cahya, 56 Tahun. Seorang akademisi bergelar profesor mensabdakan bahwa kelompok KKN-ku akan melakukan praktik kerja nyata di Desa Tirtanan. Desa yang terpencil, antah-berantah, tersembunyi jauh di pedalaman hutan, jauh dari pusat kota, dan tidak ada di peta.
Kami baru saja berganti status dari korban tanah longsor yang terjebak di dalam hutan menjadi korban selamat. Prof. Abram langsung kembali membanting setir status kami kembali menjadi mahasiswa kuliah kerja nyata. Tidak ada trauma crisis pascabencana. Tidak ada detik untuk menenangkan diri. Semua itu hanya gara-gara sabda Profesor Abram yang begitu cepat, seperti perputaran roda motor skuter matic yang dimodifikasi jadi motor balap liar.
"Pria tua itu benar-benar sudah sinting," desis Bekti di telingaku.
"Wow, men! Kita baru saja selamat dari longsor dan korban orang hilang yang tersesat di hutan," tambah Beth di telinga kiriku.
"Seolah kita disuruh melupakan apa yang terjadi tiga hari sebelumnya? Profesor tua itu benar-benar menyebalkan." Al yang ada di belakangku mengoceh sebal. Ocehan mulai merebak seperti virus, mempertanyakan keputusan Profesor Abram yang kesannya tergesa-gesa. Bahkan kita tidak membahas tentang transportasi apa yang akan kita pakai, setelah selesai dengan kuliah kerja nyata? Profesor Abram terlihat tenang-tenang saja, meski aku tahu, beliau juga memikirkan bagaimana anak-anak kelompok kerja nyata akan pulang.
"Ah, Profesor, bagaimana dengan truk kargo berisi yang akan digunakan untuk kita praktik kerja nyata di sini?" tanya Pak Baek.
"Ah, benar. Kita jatuh dan truk kargo meninggalkan kita jauh di belakang," pinta Adrian.
"Memangnya isi kargonya apa saja sih?" Bekti yang penasaran bertanya pada forum.
"Beberapa komponen sel surya, generator listrik, alat pertukangan yang banyak jenisnya, beberapa cetak biru sistem irigasi dan sanitasi, serta cetak biru sistem pengolahan biogas, serta persediaan bahan makanan untuk tiga hari," jelas Pak Baek.
Wah, ternyata kita benar akan membangun desa tertinggal!? Batinku. Mengingat apa yang disebut Pak Baek, membuatku mengerti. Selain tujuan kami untuk melakukan praktik kerja nyata di daerah tertinggal, kami juga harus melakukan sebuah kontribusi kepada desa tersebut. Politik balas budinya kental sekali dan aku hanya geleng-geleng kepala dengan muatan yang Pak Baek ceritakan. Uang yang kubayar tiap semester setidaknya lari ke arah yang ... cukup benar. Setidaknya. Namun, sel surya dan generator listrik? Sepertinya itu tidak murah di dapatkan di pasaran umum Indonesia.
"Ah, untuk kontribusi ke depan, jangan dipikirkan dulu. Mas-mas dan mbak-mbak yang ada di sini, intinya mau melakukan praktik kerja di sini, 'kan? Kami akan menyediakan apa yang kalian butuhkan selama di sini." Pak Kusno menginterupsi.
"Ah, tapi, tujuan utama kami juga salah satunya mengembangkan desa yang cukup tertinggal ...," Prof. Abram menyangkal.
"Wah, wah. Kami juga tidak bisa disebut tertinggal. Walau tidak ada listrik dan apa bapak bilang tadi? Uh ... Biogas. Ya, itu."
"Maaf sekali, sudah merepotkan seluruh warga desa sini," ujar Prof. Abram meminta maaf.
"Berkontribusi, tidak harus kalian memberikan sesuatu berupa materi, bukan? Kami kedatangan orang baru saja sudah senang bukan main. Bantu-bantu warga di sini, juga bisa kok," ujar Pak Kusno dengan santai.
Aku terkejut dengan perkataan Pak Kusno barusan, lantas berceletuk tanya, "Err ... orang baru? Memangnya orang di desa ini itu-itu saja, ya?"
"Ah, memang, desa ini jarang kedatangan orang asing," jelas Pak Kusno.
"Profesor." Salah seorang dari kami tiba-tiba mengangkat tangan, menghentikan perdebatan untuk sejenak. Kami semua menoleh ke arah sosok laki-laki memakai kaos oblong, kemeja lengan panjang yang tidak terkancing, dan celana jeans dengan sepatu gunung.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACKWOODS LOST - ARCHIVED
Adventure[15+] Narendra Surbakti tidak menyangka, Kuliah Kerja Nyata yang dia ikuti dapat membuat perubahan drastis hidupnya dalam kurun waktu satu bulan. Terjebak di wilayah tanpa ada sinyal telepon dan listrik, membuat dia dan sembilan belas orang yang iku...