21. Monopoli

199 38 10
                                    

Tiga belas hari aku berada di Tirtanan. Sebuah hal progresif mulai terjadi. Status kami sebagai mahasiswa yang menjalani PKN, didapatkan setelah barang-barang yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur desa ditemukan. Itu pun setelah kongkalikong dengan segerombolan mafia penyelundup. Hebat sekali orang-orang yang ada di Tirtanan ini dalam melakukan sebuah 'negosiasi paksa', membuat mafia penyelundup paling ditakuti di negeri ini sekali pun, mau tunduk di bawah keinginan masyarakat antar-waktu ini.

Seperti yang telah diketahui semua, Tirtanan adalah sebuah daerah dengan peradaban yang sangat terbatas. Aku tidak menggunakan kata terbelakang, karena ... mereka baik-baik saja dengan peradaban mereka. Satu, mereka tidak mengenal listrik. Dua, mereka tidak mengenal mesin-mesin kendaraan canggih semacam mobil, bus, truk, bahkan kapal kargo. Tiga, mereka tidak mengenal peralatan elektronik yang di masa ini, itu sudah menjamur di mana-mana. Empat, sinyal radio tidak tembus di tempat ini. Bukan hanya sinyal radio, tetapi juga sinyal untuk ponsel pun, sepertinya juga tidak tembus. Toh, daerah ini jauh sekali dari BTS.

Aku akui, kami melakukan hal ini terlambat dari jadwal kami semula. Dijadwalkan bahwa PKN akan dilaksanakan selama dua pekan. Sekarang adalah hari ke-13 sejak kami terdampar di tanah Tirtanan yang antah-berantah ini. Sangat molor dari waktu yang dijalankan. Namun, Prof. Abram mengatakan bahwa kalau tidak sekarang, ya kapan lagi? Kupikir itu adalah hal masuk akal. Ketika kita mengerjakan apa yang harus kita kerjakan, daripada tidak sama sekali. Toh, para masyarakat di daerah Tirtanan telah berbaik hati 'meminjamkan' tempat tinggalnya selama tiga belas hari untuk kami, orang-orang yang tersesat.

Pada akhirnya, semua orang sepakat untuk melanjutkan program revitalisasi daerah tertinggal, dengan menggunakan Tirtanan sebagai target program. Toh, dari sekian banyak peradaban Tirtanan yang ... serba campur aduk, mereka kurang satu hal. Listrik. Untuk itulah kami mulai mengenalkan peradaban tertinggal ini dengan listrik. Kami membawa tiga set generator listrik dan empat set konstruksi panel surya. Juga ... beberapa perangkat elektronik pendukung lainnya.

Ini adalah rencana awal. Kami akan memasang empat set konstruksi panel surya, di mana tiap set berukuran sebesar tiga kali tiga meter panel surya. Keempat set panel surya itu akan diletakan di padang rumput yang telah disediakan oleh Orang-Orang Suku Bersarung, setelah sebelumnya diadakan persetujuan untuk memakai tanah mereka. Di samping itu, kami juga membuat satu set rumah kincir air, dengan memanfaatkan aliran sungai di daerah timur. Sebenarnya rumah kincir itu digunakan untuk penggilingan gandum dan sorgum milik masyarakat Belanda Eksodus. Namun, karena tidak terpakai lagi, kami memanfaatkannya sebagai konstruksi pembangkit listrik tenaga sungai.

Tidak sampai di situ, kami juga memanfaatkan angin yang berembus kencang di setiap waktu-waktu tertentu di Tirtanan untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga angin. Oleh karena Tirtanan merupakan daerah pesisir, di mana angin laut berembus cukup kencang. Itu menjadi keunggulan wilayah ini dalam pembangunan konstruksi pembangkit listrik tenaga angin. Dibuat sederhana dengan memanfaatkan rumah kincir yang digunakan para Eksodus Belanda—sebenarnya milik dari seorang perlente Belanda totok—untuk menggiling gandum.

Selain listrik, kami juga memperkenalkan sistem biogas, perbaikan irigasi, dan perbaikan jalan utama desa. Kawan, berawal dari sebuah proyek sederhana yang digagas oleh tim dari Universitas, ditambah dengan niat yang kukuh, kita bisa mempecundangi pemerintah dalam hal pembangunan lho!

Rencana berikutnya adalah kami menyulap Balai Pos Dagang sebagai sentra pusat perdangangan barang 'antar-generasi' wilayah Tirtanan. Di mana barang-barang yang dibawa oleh Mafia Tomassi, juga diperjual-belikan di situ. Dari sinilah, pergeseran kebudayaan mulai berubah. Kami membawa peradaban modern, dan akhirnya mau tidak mau, secara tidak langsung, para masyarakat Tirtanan menerimanya. Secara perlahan, bertahap, dan melalui proses. Sama seperti ketika para Eksodus Belanda memperkenalkan senjata api dan senjata penembak proyektil, yang mengubah cara bertahan hidup orang-orang Tirtanan. Sekali lagi, Tirtanan mengalami perubahan kebudayaan, ketika peradaban modern mulai menggagahi pra-peradaban Tirtanan.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang