5. Apakah Kita Selamat? Entahlah

354 51 6
                                    

Barisan cahaya bundar kekuningan berbaris ke arah kami. Hanya ada dua hal yang memungkinkan, yaitu manusia atau makhluk lain. Sayangnya, aku bukan seorang penganut materialisme fanatik yang menolak mentah-mentah keberadaan makhluk halus apa pun. Rasa keraguan itu masih muncul dalam benakku untuk sepersekian detik, sebelum akhirnya sebuah suara mereduksi ketegangan kami.

"Halo? Kalian masih di sana?" teriak sebuah suara yang berasal dari barisan cahaya itu. Suaranya terdengar mirip seperti pria berusia paruh baya, sekitar tiga puluh hingga empat puluh tahunan.

Ternyata memang seorang pria paruh baya. Cahaya kekuningan yang berasal dari obor menyorot sosok wajahnya yang sedikit keriput dan berambut putih beruban. Bau menyengat berasal dari obor yang terbakar, berbau sengak. Aku yakin itu berasal dari bahan bakar obor. Kami terjebak dalam situasi saling menatap selama beberapa detik. Seperti baru pertama kali kami berkenalan dengan orang-orang asing.

Oh, jangan katakan bagaimana rupa dari orang-orang yang menemukan kami. Daripada disebut para warga yang turun ke hutan untuk mencari tahu apa yang terjadi, mereka lebih seperti gerombolan pemburu atau sekumpulan pencoleng. Sebuah benda yang berbentuk seperti tabung panjang, dengan komposisi metal dan kayu, terselempang di beberapa punggung orang-orang itu. Iya. Itu senjata api. Bedil. Lebih tepatnya senapan. Dari ukuran dan bentuknya, kemungkinan besar senapan angin.

"Ah, syukurlah. Apa kalian dari desa?" tanya Profesor Abram memecah kebekuan suasana.

"Yah ... kurang lebih begitu. Kenapa kalian berada di sini?" tanya pria paruh baya itu.

"Ka-kami tersesat di hutan. Kami berasal dari tebing di atas sana. Kendaraan kami merosot menuju ke bawah. Kami sudah berada di hutan ini lebih dari 24 jam," jelas Prof. Abram.

"Iya, kami memang sempat mendengar ada bunyi gemuruh dua malam yang lalu, sewaktu hujan lebat. Beberapa orang menganggap itu adalah bunyi guntur atau semacamnya. Tidak kusangka kami akan menemukan orang-orang yang tersesat di sini. Kalian semua selamat?" ujar pria paruh baya seraya matanya mengawasi kami dan sekeliling.

"Kami semua selamat, meski kami juga sempat berpikir kami akan tamat di sini," ujar Profesor Abram. Bu Utari mendecak seraya menatap Profesor Abram tidak suka.

"Tolong jangan bicara yang tidak-tidak, Prof ...," sungut Bu Utari. Profesor Abram hanya terkekeh.

"Saya Kusno. Saya kepala desa, sekaligus pemimpin ekspedisi ini. Segera setelah kami dapat laporan dari orang-orang yang pergi ke tepi hutan, bahwa ada beberapa aktivitas mencurigakan di dalam hutan. Kami langsung membentuk tim ekspedisi. Ternyata kami menemukan kalian di sini," jelas pria tua yang bernama Kusno bercerita.

"Kalian datang dari luar hutan?" tanya Des tidak sabaran.

"Bisa dibilang begitu," jawab Pak Kusno.

"Berarti kita bisa keluar dari sini?" sahut yang lain. Suara perempuan.

"Iya, benar. Asalkan kalian mengikuti syarat yang kami ajukan," ujar Pak Kusno. Semua terdiam untuk sejenak.

"Syarat?" celetukku.

"Kalian tidak boleh sampai terpisah dari rombongan ini, apa pun situasinya. Hutan ini sangat mampu membuat siapa pun—yang tidak mengenal daerah ini—tersesat. Kemungkinan kalian sudah merasakannya," jelas Pak Kusno.

"Kapan kita akan sampai keluar hutan?" tanyaku. Pak Kusno menghela napas sejenak.

"Kalau cepat, sewaktu fajar, kita sudah bisa keluar hutan. Juga, kalian sudah bisa masuk ke desa," jawab Pak Kusno. Sejenak aku menatap sekilas Pak Kusno. Wajahnya terlihat serius, meyakinkan, dan tanpa ada keraguan. Apalagi aku memikirkan sebuah syarat yang aneh, bahwa kita tidak boleh terpisah dari rombongan. Daripada disebut sebuah syarat yang menguntungkan, itu lebih mirip sebuah petuah. Sejurus kemudian Pak Kusno sudah tertawa terbahak-bahak, sampai dia memegangi perutnya.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang