51(b). Watchdog (2)

125 19 3
                                    

Auriga Alioth Sagiri. Dua puluh tahun dan dirinya bekerja sebagai intel mata-mata sebuah organisasi bawah tanah milik pemerintah. Government Watchdog, atau kurang lebih disebut sebagai Anjing Pengintai Pemerintah. Aku tidak kaget setelah mengetahui nama tengah Sagiri, adalah nama seorang wartawan terkenal panutan para pencari pergerakan massa, yang tewas karena sebuah kecelakaan misterius beberapa tahun silam. Gerak-geriknya sendiri kurang lebih memiliki sesuatu yang disembunyikan sebagai intel dan tidak kusangka ia menyembunyikannya dengan sangat baik. Sangat baik, sampai bahkan aku baru mengetahui, cowok tomboi ngondek, dengan tampang dan suara seperti layaknya perempuan dan suka mengepang rambutnya ini—adalah seorang anggota Anjing Pemerintah! Aku terkejut.

"Jadi, Sagiri adalah ... intel?" Bekti masih mengulangi pertanyaannya, ketika kami berdua menjelaskan 'asal-usul' kami.

"Semacam itu," ujar Sagiri.

Bekti kemudian menoleh padaku. "Dan kau intel juga?"

Aku mendengus, "Jangan samakan aku dengan mereka, Bekti. Juga, aku sudah lama meninggalkan karir itu."

"Rendra Surbakti, dua tahun bekerja di balik bayang-bayang dan di bawah tanah ingar-bingar metropolitan sebagai Public Watchdog. Organisasi radikal yang selalu mengomel setiap langkah pemerintah yang menyimpang dari kepentingan masyarakat," sahut Sagiri. Aku kembali mendengus, ketika mendengar nama Public Watchdog kembali disebut. Sudah tidak lama aku mendengarnya.

Mengenai Public Watchdog sendiri, juga merupakan sebuah organisasi bawah tanah. Jika, Anjing Pemerintah bertugas untuk mengamankan konstitusi dan peranan pemerintah sebagai pengatur dan penyelenggara negara, maka Public Watchdog adalah sarana untuk melihat dan mengontrol jauh lebih luas. Anjing Masyarakat sudah seperti namanya, bertindak sebagai organisasi yang mengkritisi kinerja pemerintah, bagian-bagian apa saja yang terasa janggal dan tidak tepat di masyarakat. Mereka terdiri dari mahasiswa, aktivis, dosen, penulis, dan para wartawan lepas—termasuk wartawan kampus—yang sudah muak dengan sistem tatanan dunia yang terlalu rigid dan berpotensi menjadikan sebuah 'kanker sosial'.

Bukan hanya itu, Public Watchdog juga sebagai sarana kontrol dan kritik atas sosial itu sendiri, di mana kini masyarakatnya terkena racun-racun pemikiran dan sudah terlalu keblinger. Aku harus akui, pemerintah memang sudah keblinger ketika melakukan tindak bad government, tetapi masyarakat yang sudah bertindak keblinger, jauh lebih menyebalkan.

Namun, aku telah lama keluar dan 'pensiun' dari organisasi bawah tanah itu. Semenjak aku tidak lagi berkecimpung di dunia pers kampus, aku melepas karirku di Public Watchdog. Aku tidak terlalu suka bekerja di sana, terlepas aku dapat mengetahui segala macam keburukan yang tengah terjadi di pemerintahan saat ini. Siapa yang memegang parlemen, siapa yang berada di balik presiden, siapa yang merengkuh sistem di negara ini, semua itu, aku pernah mengetahuinya. Walau hanya sebentar, itu adalah sebuah kesenangan tersendiri.

"Auriga Alioth Sagiri. Dirinya 'dipungut' sebagai aset antek birokrat Government Watchdog dan selalu kebakaran jenggot tiap kali Public Watchdog mengeluarkan sebuah isu yang mengkritisi pemerintahan," balasku.

Bekti yang seperti tidak ingin kalah, memulai lawakannya.

"Oh ... Septian Bekti. Mahasiswa Fakultas Teknik Pertanian konsentrasi Ketahanan Pangan tingkat tiga. Kalian berdua benar-benar sesuatu."

Kalau saja Bekti tidak ke rumah singgah sore ini, pastinya aku dan Sagiri sudah saling baku tembak dan menghancurkan seisi rumah singgah. Bahkan, aku terkejut dengan kemampuan lawak Bekti yang yang bahkan dapat menenangkan perdebatan dua orang dari dua organisasi yang saling berseberangan.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang