51(a). Watchdog (1)

117 21 5
                                    

Hampir 2 bulan Aku berada di Tirtanan, sementara kejutan demi kejutan seperti terus-menerus datang mengetuk pintu rumah singgah. Rasanya berbagai macam hal-hal yang tidak masuk akal sudah tidak lagi kupedulikan di sini. Tempat ini lama-lama benar-benar aneh dan semakin membuat nalarku perlahan terhanyut pada setiap angin malam Tirtanan.

Tidak pernah terpikir olehku, bahwa temanku bisa membaca masa lalu dan masa kini seseorang. Tidak pernah aku menalar bahwa manusia setengah dewa itu ternyata bukanlah lagu semata. Tidak pernah terlintas di pikiranku kalau setiap hari kejadian demi kejadian berbau supernatural, berbau di luar kaidah otak penalaran manusia, sudah seperti kejadian yang lumrah dan biasa. Oh, Tuhan, aku merasa seperti orang yang abnormal, karena tidak dapat memahami kejadian-kejadian di luar nalar itu!

Setelah aku terus-terusan terpaku oleh keadaan Ann yang belum juga menunjukkan perkembangan yang berarti, aku terpaksa dihadapkan lagi oleh suatu kejutan, yang pada waktu itu sudah seperti menggedor-gedor pintu rumahku. Kejutan yang akan memulai sebuah bencana umat manusia di Tirtanan.

"Jadi, siapa bosmu?" ujarku tanpa lekang menatap sosok laki-laki-atau sepertinya laki-laki-yang tengah duduk santai di depanku dan menyenderkan punggungnya, sembari menyesap secangkir teh rempah yang aku kebetulan buat sendiri.

"Menurutmu? Tentunya kau dapat mengetahuinya, bukan?" jawab 'laki-laki' itu setelah menyesap tehnya dan menunjukkan ekspresi kenikmatan yang tidak terhingga. Aku jadi ragu kalau orang di depanku ini adalah laki-laki.

Ya, masalahnya siapa yang tidak bingung dengan laki-laki berambut panjang yang mengkonde dan mengepang rambutnya, ditambah dua buah jepit rambut yang merapikan rabut depannya. Ditambah lagi suaranya yang terdengar empuk seperti ketela rebus. Modifikasi sedikit, suruh dia pakai pakaian perempuan, dan dia akan tampak seratus persen seperti perempuan jika dilihat dari kejauhan.

Aku jadi iri karena sepanjang kehidupanku, rambut gondrong seolah menjadi sebuah identitas 'pemberontakan' masa muda. Aku selalu ingin menggondrong rambutku, tetapi entah kenapa rambutku yang memang sedikit keriting ini, malah membuat rencana menggondrong rambutku buyar dan aku tampak seperti Joseph Stalin-tanpa kumis baplangnya-di usia muda. Aku jadi kesal, siapa sih yang memulai membuat pemahaman, bahwa rambut gondrong identik dengan pemuda begundal, tengil, berontak, dan tidak beradab?

Aku sudah tidak peduli. Aku harus tetap fokus pada salah satu teman yang bersetia hingga akhir dan memutuskan untuk tetap tinggal di Tirtanan bersamaku dan Bekti. Kalau orang-orang yang memutuskan untuk tinggal di Tirtanan adalah orang yang paling keras kepala, maka dia adalah orang keras kepala yang paling rasional di antara aku, Bekti, dan dirinya. Ah, tambahkan juga orang paling ambigu, baik penampilan, pikiran, ataupun motifnya.

"Aku bukan detektif, bukan cenayang, dan tidak punya Mata Batin Pemutar Rekaman Kehidupan," sungutku sembari menyesali diriku sendiri, tidak dapat menikmati teh rempah-resep buatan Nenek Ketua sendiri-ini dengan nyaman. Baru sepuluh menit dirinya tiba-tiba memutuskan untuk berbicara denganku empat mata di rumah singgah, tetapi aku sudah merasakan bahwa orang ini sedikit menyebalkan.

"Aku tentu saja tidak dapat menjawabnya," ujarnya sambil menyesap tehnya kembali.

"Kenapa kau berada di Tirtanan ... tidak, aku ubah konteksnya. Apa tujuanmu menyelinap di sebuah kelompok KKN dan tetap tinggal di Tirtanan?"

Orang di depanku terkekeh. "Kau menuduhku?"

"Tidak. Aku hanya ingin tahu," sahutku. Sejenak kemudian, nadanya kembali terdengar serius.

Ia menekankan kalimat berikutnya yang ia bicarakan untuk membaut penegasan, kalau aku harus benar-benar memerhatikan apa yang dirinya ucapkan.

"Rendra, jangan menghalangi dan aku rasa kau dapat berkooperasi jika tidak ingin sesuatu terjadi padamu."

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang