44. Pertempuran Besar Tirtanan Ketiga

125 18 1
                                    

Situasi yang bisa kugambarkan adalah suasana mencekam. Nuansa yang terasa antara Tirtanan yang biasanya, dengan Tirtanan saat ini benar-benar besar. Rasa tegang seolah mengaliriku ketika senja mendung menurunkan rintik hujan yang cukup deras, menyambut kami di Tanah yang Diberkati. Kami tidak melewati jalan besar karena penuh dengan tumpukan boks kayu, karung pasir, dan segala benda-benda seperti meja, kursi, bangku dan bahkan dahan pohon yang besar. Pembatas antara Tirtanan dengan daerah kantung militer Tirtapura.

Memasuki pemukiman Penduduk Orang-Orang Bersarung, penuh dengan pengungsi dari Tirtanan Timur, yang kebanyakan adalah warga desa Klan Mizu dan Orang Belanda. Bayi-bayi sedang tidur dengan tidak nyaman. Para orang-orang suku itu tengah beraktivitas dengan menenteng senjata mereka. Satu gurat kecemasan tersaji di setiap wajah orang-orang ini. Lebih jauh ke Utara, Balai Pos Dagang lebih seperti los pasar mangkrak yang ditinggalkan pedagangnya. Apa yang kulihat adalah suasana mencekam di Tirtanan.

Tentara Tirtapura telah memasuki Tirtanan Timur. Segera setelah perundingan terakhir, seluruh Tirtanan akan jatuh ke dalam kuasa Adiguna. Kami sedikit terlambat, ketika para delegasi dari kedua belah pihak sedang melaksanakan perundingan di tengah jalan besar, di mana para prajurit Tirtapura sedang berbaris menunggu komando. Perundingan terakhir untuk menentukan nasib Tirtanan. Kami menyamarkan Putri Sitaresmi untuk menghindari kemungkinan serangan Adiguna yang gelap mata mencarinya.

Berdasarkan informasi yang kuperoleh dari penduduk desa, Tirtapura menangkap Elo Naode dan mengancam desa dengan memajukan seluruh tentara di garis depan pagi itu. Elo Naode yang masih tetap memilih untuk melakukan rekonsiliasi dengan jalan damai, menyerahkan diri. Kampung-kampung di sisi Timur telah dikuasai oleh Tentara Imperialis Tirtapura. Para warga banyak yang mengungsi ke Barat, bahkan sejak pertama kali Tentara Imperialis Tirtapura menginjakkan kaki di Tirtanan. Banyak rumah-rumah suwung terbengkalai selama enam hari lamanya di sana.

Pamong dan para pengaman desa bergantian jaga selama 24 jam penuh untuk mengamankan garis depan dan Tirtapura. Jalan besar adalah tapal batas, zona demiliterisasi antara dua belah pihak. Dengan dicurinya beberapa senjata dari gudang-gudang di bagian Timur, ada kemungkinan pertempuran akan berubah menjadi lebih brutal. Senapan melawan senapan. Paradigma perang bergeser.

Adiguna—melalui B'ruthin—telah menangkap Elo Naode atas dasar tuduhan pelanggaran perundingan pertama dengan membiarkan Tuan Putri Sitaresmi tinggal di Tirtanan dan kabur kembali ke hutan. Tuduhan tidak berdasar itu dimentahkan oleh para delegasi, dengan menuduh balik prajurit Tirtapura menyerang warga Tirtanan yang 'ingin' ke hutan. Perundingan pertama menjadi tidak berlaku. Tirtapura bisa saja menyerang sewaktu-waktu, karena tentara mereka sudah siap. Bahkan, dari Telik Sandi mengatakan, Adiguna akan melancarkan serangan penuh ke Tirtanan. Selama ini, delegasi telah berjuang untuk kooperatif semaksimal mungkin. Ada sedikit perasaan bersalah ketika mengetahui putusnya perundingan adalah hasil dari kami yang membawa kabur Tuan Putri ke hutan.

Namun, jika tidak bergerak cepat dan hanya menunggu sambil berpangku tangan, apa mungkin selesai?

Aku bertemu Mayor Delberg yang sedang mengamankan garis depan. Para pamong sudah menggenggam erat bedil dan senjata mereka masing-masing, menunggu di dekat tembok barikade. Beberapa penembak berada di atas atap dan loteng rumah warga, dikirim sebagai pengawas dan penembak jitu. Yang terlihat di balik wajah tegang para warga yang jadi keamanan desa hanyalah ketakutan akan pertempuran yang pecah. Mereka hanyalah pamong siskamling desa dengan senapan angin di tangan mereka.

"Bagaimana situasinya?" tanyaku kepada Om Belanda keras kepala satu itu.

"Pilihannya ... Maju atau mundur. Mandat diserahkan kembali kepada Kades Kusno," ujar Mayor Delberg getir.

"Tidak adakah jalan lain? Bagaimana dengan Nenek Ketua?"

"Nenek ketua menginstruksikan garis tegas. Ia masih mengusahakan agar hanya Tirtapura dan Orang-Orang Bersarung yang tercebur dalam konflik horizontal. Kami akan angkat senjata ketika mereka mengarahkan tembakan ke Tirtanan," ujar Mayor Delberg.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang