24 Hari kami berada di Tirtanan, kami mempersiapkan segala kemungkinan akan serangan lanjutan dari Sekte Kah Raman atau ... apalah namanya itu.
Hari Ke-25, Seakan-akan tanah ini dijadikan ladang pertempuran antara dua kelompok manusia. Pertumpahan darah tidak dapat terhindarkan, korban berjatuhan, dan terus menerpa kami berbagai kehebohan.
Berawal dari pagi hari yang masih terasa mencekam di Tirtanan. Jalan besar ditutup. Perkampungan orang Jepang dan Totok Belanda banyak dipasang barikade sementara dari kayu, gerobak, meja, kursi ... apa pun, sepanjang lima kilometer. Membentang di sepanjang jalan besar desa. Menara lonceng gereja dijadikan menara pengawas. Beberapa orang berlalu lalang sambil membawa bedil, golok, arit, bahkan cangkul. Seluruh warga sipil—wanita, anak-anak, dan orangtua—dikumpulkan di dua titik pengungsian. Balai Desa dan surau. Balai Pos Dagang ditutup total. Perekonomian Tirtanan untuk sementara lumpuh. Yang ada di pikiran orang-orang saat itu adalah hanya satu, selamat.
Pagi itu, sontak orang-orang yang berjaga dikagetkan dengan sebuah teriakan seseorang sembari menunjuk ke arah Timur.
"Oi! Apa itu!?" ujar seorang bapak tua sedikit gendut dan berambut jarang. Namanya Pak Witno. Aku lupa memperkenalkan, kalau dia adalah sopir bus kami. Iya. Sopir bus yang tiap hari kerjanya keliling desa entah mencari suatu kesibukan sendiri. Astaga apa yang aku bahas selama 25 hari terakhir, sampai-sampai melupakan sosok yang membawa kami ke dunia lain ini!?
Aku dan Rendra yang kebetulan di dekat situ, bersama Pak Witno, kami mendekati sesuatu yang ditunjuk Pak Witno itu.
Kami terkejut bukan main, karena yang kami temukan adalah seorang wanita yang tergeletak tidak sadarkan diri di tanah. Dia adalah Ningsih! Putra Pak Soedja! Juga ada beberapa orang warga yang tergeletak tidak jauh dari Ningsih. Kami juga menemukan Gita dan Nadia, salah satu teman satu kelompok KKN.
"Itu ... adalah orang-orang kita, Pak Witno!" ujarku.
"Astaga, bagaimana bisa mereka ada di sini!?" tanya Pak Witno heran. Mukanya berubah panik. Semua panik di waktu yang bersamaan.
"Entahlah, panggilkan warga yang sedang berjaga sekarang!"
Segera setelah itu, kami memanggil para penjaga garis depan. Situasi benar-benar berubah sekarang. Perkembangan terbaru dari teror di Tirtanan. Orang-orang yang diculik oleh para pengikut Sekte, tiba-tiba bergeletakan di ladang para Totok. Semuanya. Jika kaulihat dari atas menara, itu sudah tampak seperti para korban perang yang digeletakan begitu saja di sembarang tempat. Satu hal yang masih membuat napas kami lega, mereka semua masih hidup.
"Ningsih! Oi! Bangunlah!" Aku mengguncang pelan bahu Ningsih. Tidak ada respon.
"Dia tidak sadarkan diri, Bek. Kita harus menggotongnya!" ujar Rendra.
Nah, ini dia! Ketika kami berdua hendak menggotong Ningsih, tiba-tiba terdengar seperti suara orang-orang berteriak dan derap langkah yang makin lama makin jelas. Dari balik Hutan Timur, para kunyuk berjubah hitam itu pun berbondong-bondong datang ke arah desa. Jumlah mereka banyak. Di tengah-tengah evakuasi yang masih berlangsung, mereka menyergap kami, menunggu kami lengah. Di saat itulah, serangan balik dari para begundal itu dimulai.
"A-apa ... apaan ..." Aku tergagap ketika para manusia berjubah hitam menyebalkan itu muncul dari balik pohon-pohon di Hutan Timur. Mereka berteriak sambil mengayun-ayunkan senjata mereka yang berupa pisau, lalu berteirak seperti orang sinting.
"Manusia berjubah hitaam!"
Yah, teriakan para warga di garis depan menegaskan siaga tingkat satu. Sejurus kemudian suara debap bedil yang ditembakkan mulai bermunculan, bersama dengan tumbangnya beberapa manusia berjubah hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACKWOODS LOST - ARCHIVED
Adventure[15+] Narendra Surbakti tidak menyangka, Kuliah Kerja Nyata yang dia ikuti dapat membuat perubahan drastis hidupnya dalam kurun waktu satu bulan. Terjebak di wilayah tanpa ada sinyal telepon dan listrik, membuat dia dan sembilan belas orang yang iku...