7. Kata Jurang Selalu Tidak Menyenangkan

304 53 12
                                    


Seharusnya, acara jamuan makan malam itu diisi dengan makan-makan, saling melempar candaan, saling bercerita, bercengkerama, mengakrabkan diri dengan orang terdekat, membahas hal-hal dari paling penting sampai yang paling tidak penting, dan tentu saja kegembiraan di semua sudut meja makan.

Sayangnya, aku sudah putus harapan dengan prediksi dan positivisme. Acara jamuan makan yang dihelat di pendopo tengah Desa Tirtanan menjadi ajang deliberasi antara pihak tersesat dengan pihak pemukim desa tersebut. Menurut yang diberitakan Bethlehem, semua itu terjadi seusai Profesor Abram menyatakan maksud kedatangan kami semua.

"Jadi ... Profesor menjelaskan tujuan kami yang untuk pergi ke desa terpencil dalam rangka kuliah kerja nyata. Lalu kami terkena musibah kecelakaan, hingga sampailah kita semua di sini. Semua berubah ketika Pak Kusno memberikan sambutannya," ungkap Beth.

"Tapi, Beth, beberapa menit lalu semua masih tampak tenang-tenang saja!?" gusarku.

"Oh, lain kali pertanyaanmu bisa menjadi bumerang bagi setiap orang, Nak! Semua terjadi dari sebuah pertanyaan!" ujarnya penuh menggebu.

"Siapa yang tanya?"

"Aku," ujar Beth dengan wajah polosnya. Aku menjitak kepala Beth.

"Ah, geblek koen! Itu berarti kaujadi biang kerok masalah ini!? Lihat, sekarang kau mengacaukan acara makan-makannya dan semua orang minta tuntutan jawaban dari Pak Yanto!" geramku.

"Ta-tapi, siapa yang mau tinggal lama-lama di desa yang bahkan listrik saja tidak ada! Bahkan mandi pun ramai-ramai!? Jadi aku menanyakan kepada Profesor Abram kapan kita akan pulang!" tukas Beth.

"Lalu, apa jawab Profesor?"

"Dia bilang KKN akan selesai dalam 2 minggu, lalu ada pertanyaan lain." Beth mencoba membela diri.

"Pertanyaan lain?? Dari siapa?" tanyaku mengejar.

"A-aku tidak tahu! Ada yang nyeletuk gimana kita akan pulang, lalu setelah itu Pak Kusno berkata bahwa kalian tidak akan bisa keluar dari tempat ini!" ujar Beth.

"Lalu?"

"Lalu?" Beth mengulangi pertanyaanku.

"Lalu apa, sialan!? Masa Pak Kusno hanya berkata itu tanpa ada penjelasan?" Aku tambah gusar. Suasana di sekitar makin riuh. Pak Kusno kelabakan mengatasi pertanyaan dari anak-anak—bahkan Bu Utari—yang panik, setelah mendengar bahwa mereka terjebak di daerah yang bahkan GPS militer sendiri tidak dapat memetakannya, juga mereka tidak bisa keluar dari situ. Kemungkinan terburuk adalah kita semua akan jadi 'penghuni baru' desa Tirtanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Sangat. Bahkan jika kau memutuskan untuk menyambung keturunan, itu mungkin saja terjadi.

Beberapa perangkat desa—anak buah Pak Kusno—langsung berada di dekat Pak Kusno untuk membantu mengatur situasi agar tidak berubah menjadi kericuhan. Raut dari para warga berusaha penuh agar mereka tidak tersulut emosi. Satu-satunya penyulut emosi adalah ... dari kami sendiri. Banyak. Salah satunya pria bernama Des. Berbahaya bila dia sampai bacot di sini.

"Oke, semua tenang! Bisakah kalian tenang, anak-anak!" Dengan suara serak, tetapi cukup menggelegar untuk didengar seisi pendopo, Profesor Abram mencoba menenangkan keadaan. Beberapa orang yang ricuh langsung tenang kembali. Sebagian lagi ada yang masih menahan emosi.

"Kalian ini akademisi, bukan peserta debat kusir! Bicaralah yang teratur dan jangan ada teriakan! Kalian bukan berarti mahasiswa, lalu langsung dengan seenaknya mengecam sesuatu yang tidak sepaham dengan kalian. Apa kata akademisi lain kalau tingkah kalian seperti kera-kera berdasi yang ribut omong kosong di gedung parlemen!?" Kali ini, Profesor Abram benar-benar menumpahkan kekesalannya.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang