49. (Don't) Suffer With Me

124 18 7
                                    

Lima kata itu membuatku seperti seorang kriminal yang dibacakan vonisnya di depan semua khalayak pada sebuah Pengadilan Internasional, karena terbukti melakukan sesuatu yang di luar apa yang telah disepakati oleh dunia. Dunia seakan berbalik menjadi musuhku. Dunia? Aku tidak yakin apakah dunia yang memusuhiku, atau realita yang memusuhiku? Sejak aku memiliki kapabilitas yang cukup untuk memproses data yang diterima oleh otak, aku mulai perlahan berusaha mencerna realita yang ada di dunia ini. Namun, tidak mungkin juga aku menolak godaan hal-hal manis yang terkadang bertabrakan dengan realita tersebut.

Saat vonis itu dibacakan oleh Elo Naode, seorang pemimpin adat dari sebuah suku kuno yang bermukim di Ujung timur pulau Jawa, rasa-rasanya apa yang kujelaskan barusan memang benar terasa seperti itu.

Tidak adil. Ini tidak benar. Ini semua pasti bohong.

Aku dipaksa untuk menelan mentah-mentah vonis itu. Vonis yang jelas tidak dapat diterima oleh siapa pun. Pun aku ingin menyalahkan Elo Naode, tetapi sayang sekali, ia sudah terlalu tua untuk disalahkan. Namun, seperti apakah hukum manusia bekerja? Persoalan adil dan tidak adil itu rasanya selalu menjadi hal yang penuh bias di mata manusia.

Adil? Manusia, tidak akan pernah bisa memiliki keadilan mutlak. Manusia hanya bisa untuk berusaha menjadi adil, meski oleh entitas lain, keadilan yang sedang diusahakan oleh manusia itu hanya akan jadi bahan lelucon dan olahan sitkom sore hari mereka.

Ann harus tetap di Tirtanan!

Kata-kata itu mengandung semacam berita, meinginformasikan bahwa Ann harus tinggal di Tirtanan. Ia tidak bisa meninggalkan Tirtanan, saat kami semua tengah merasakan euforia, bahwa sebentar lagi mereka akan mengakhiri 50 hari yang berat. Satu bulan lebih di sebuah wilayah yang tidak pernah muncul di dalam peta sebagai sebuah wilayah dengan pemukiman penduduk yang besar. Mereka sudah mengatakan kecukupan mereka, melihat segala hal yang di luar pemahaman mereka.

Kata-kata itu juga mengandung sebuah instruksi, sebuah perintah, dan sebuah larangan. Instruksi untuk menahan seorang gadis polos yang ikutan terjebak permasalahan bersama 19 orang lainnya. Perintah untuk menetapkan Ann untuk tetap tinggal di Tirtanan. Larangan agar Ann tidak boleh menginjakkan kaki keluar di Tirtanan, atau suatu hal yang buruk akan terjadi.

Sayangnya kata-kata tersebut tidak berarti apa-apa, karena larangan tidak dapat lagi melarang. Perintah tidak dapat lagi memerintah. Berita hanya akan jadi basi, karena apa yang datang bersama berita tersebut, adalah sebuah hal yang buruk. Telah terjadi.

Lima menit telah berlalu ketika matahari menyinari garis ekuator. Terbentuklah sebuah peristiwa equinox yang sangat dinantikan oleh segerombolan orang yang nyasar di pedalaman dataran tidak terjamah manusia. Sebuah penghalang misterius yang tidak dapat ditembus oleh segala sinyal, segala detektor, dan segala satelit itu, akan membukakan sebuah pintu keluar secara otomatis. Semua orang memiliki kesempatan keluar dari dunia yang aneh dan penuh dengan ke-tidakmasukakal-an yang luar biasa.

Kepanikan menjadi suasana yang kontras dengan suasana yang aku rasakan sekarang. Tidak dapat yang dapat kurasakan dan indera ini seketika menjadi mati rasa, dengan suasana yang bercampur baur dan tidak karuan. Kepanikan itu menyentak kantuk dan lelah banyak orang yang berada di rombongan. Seketika mereka berpacu dengan waktu, pontang-panting mencari air, mengambil turniket, mengambil perban, menyiapkan tandu, mengobok-ngobok kotak obat, memanggil beberapa orang yang andal dalam penanganan luka yang terbilang cukup fatal.

Aku hanya berdiri mematung, bergeming melihat seseorang yang telah dekat denganku selama 50 hari berada di dunia yang dinamakan Tirtanan ini. Ia kini tidak berdaya dalam menghadapi titik tengah maut yang seketika datang mengetuk pintu kamarnya. Aku seolah tidak berdaya, ketika takdir mengetuk pintu, kemudian memberi kabar bahwa dirinya akan menjemput Ann. Aku tidak dapat apa-apa dan dalam keadaan yang benar-benar berada di titik nadir. Transendental yang benar-benar tidak berdaya. Meski aku memiliki darah Penjaga Tanah Ini, meski Golok Bergagang Giok di tangan, tetap aku tidak dapat menghentikan si takdir ini.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang