20. Anak Keluarga Tomassi

172 39 2
                                    

Satu lagi orang bego yang datang ke sarang penyamun. Parahnya lagi, Al tertangkap sebelum dia lari. Tentu saja Lisbeth si bajak laut sadis itu melepas tembakan peringatan sebelumnya. Membuat Al terjebak dan bergeming di tempat. Gadis malang itu hanya bisa pasrah ketika Lisbeth meringkus dan membawanya untuk bergabung bersamaku yang ditawan di dinding gua.

"Jadi ... apa yang membuatmu datang kemari, Al?" Cibirku seraya menatap Al sok menyalahkan.

Dengan sedikit tergagap dan kesal, Al menukas, "Bu-bukan urusanku. Aku hanya diam-diam datang kemari agar bisa menyelamatkan kalian."

"Bohong, pasti kaurencanakan sesuatu. Hmm ... misi penyelamatan? Terdengar menarik," tukasku. Hal itu malah membuat Al semakin jengah ketika berbicara denganku.

"Menarik apanya? Fakta bahwa aku tidak dapat menahan rasa penasaran ketika kalian para lelaki berbondong-bondong naik bukit, itu tidak bisa dibantah," sungutnya mencari-cari alasan.

"He, tunggu, memangnya kita mau piknik di bukit berbatu begini?" tanyaku setengah bercanda.

"Mungkin saja ...." Al menjawab santai tanpa berpikir.

"Dogol ... mengecek kargo kita kok dibilang piknik!?" geramku kesal.

"Aku bilang mungkin saja!?" Al malah memprotes.

"Ah, gara-gara kau, akan jadi merepotkan bila ada kelompok penyelamat datang ...," sungutku.

"Kenapa merepotkan, sialan!? Al yang tidak terima mencercaku lebih jauh lagi. Kami tidak sadar kalau sedari tadi, ada satu orang bos mafia yang terabaikan karena pertengkaran kami berdua. Tiba-tiba saja, Lisbeth langsung menodongkan senjata dan meletuskan lantai gua. Seketika kami langsung terdiam dengan tembakan peringatannya.

"Berhenti mengoceh kalian berdua!" geramnya. Statusnya sebagai calon penjahat yang ditakuti orang-orang sekitar langsung jatuh ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk yang jauh lebih menyebalkan seperti kami.

"Hoi ... hoi, Tante. Hematlah peluru di sini, ya? Kau tidak tahu apa yang akan dihadapi ketika amunisimu habis nanti?" ujarku menenangkan Lisbeth, tetapi bos mama—berbadan bocah—mafia itu sudah kelewat marah.

Ia langsung mendekat ke arah kami seraya menghardik, "Mestinya kuletuskan saja kepala kalian semua!?"

"Apa poinnya ... he? Jadi kau serius!?" Aku terperangah, yang sebenarnya kulakukan agar tampak seperti pemeran utama yang kelewat goblok di sebuah film komedi, mengulur waktu agar aku tidak mati duluan.

"Tentu saja ... bodoh!" sentaknya seraya melonjak-lonjakan dirinya, disertai dengan debaman halus lantai yang terhentak oleh kedua kakinya. Sebagai informasi perbandingan saja, Lisbeth Tomassi adalah orang yang paling pendek di antara manusia yang hadir di ruang gua itu. Bisa dibilang, selama kami mengenal orang ini, tingkahnya seperti ketua geng anak bandel di kompleks perumahan tempat aku menyewa kamar indekos.

"Tunggu! Aku punya usul lebih baik. Kenapa kita tidak adakan perjanjian saja? Tidak ... tidak perlu ada pertumpahan darah di sini, bukan?" Al mencoba untuk angkat bicara. Seketika Lisbeth menoleh tajam ke arahnya.

Ia mencibir serya bertanya, "Aku sudah dengar usul itu dari dua orang pria lucu ini dan mereka tidak meyakinkan. Jadi, siapa kau?"

Al maju sedikit untuk memperkenalkan diri. "Namaku Alesya Marsya, salah satu dari mahasiswi kelompok tiga KKN-Integrasi."

"Jadi ... kenapa kau keluyuran di markas kami, ha? Mau coba jadi pahlawan kau?" Lisbeth memulai sesi interogasi dengan Al. Tangan kanannya sudah siap dengan sebuah pistol. Al tampak menelan ludah sebentar sebelum ia menjelaskan.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang