35. Panji Tirtapura

145 22 31
                                    

30 Hari kami berada di Tirtanan.

Jika tepat pada hari ini, Kerajaan Tirtapura mengadakan sebuah peperangan, kami tidak akan siap. Tirtanan akan dalam kekacauan. 290—jumlah kasar—laki-laki produktif Tirtanan, tidak akan sanggup untuk melawan 200 bala tentara dengan perlengkapan tempur komplet. Itu jika Tirtapura tidak mengirimkan bala tentara gelombang kedua. Sekalipun kami unggul dalam senjata, kami masih kalah moral. Tirtanan masih dalam keadaan yang tidak sehat, setelah dilanda teror dari Kah Raman.

Arak-arakan barisan tentara itu mengular panjang dan muncul dari Jalur Timur yang menghubungkan Tirtanan dengan Tirtapura. Mereka berbaris sembari menyandang perisai, tombak, keris, atau klewang. Semua orang sontak menghentikan aktivitas sehari-hari mereka begitu mendengar kabar tentara Tirtapura memasuki wilayah Tirtanan dengan jumlah di luar logika. 200 tentara yang melintas di wilayah negara lain saja sudah meletupkan suatu deklarasi perang. Tampaknya, kelompok manusia di Tirtanan, merasa terancam dengan hadirnya kelompok manusia lain di luar grup mereka. Tipikal manusia berkelompok.

Tidak banyak persiapan apa-apa. Banyak warga yang masih belum sembuh dari lukanya. Masih banyak warga yang sakit sehabis teror yang terjadi beberapa hari silam. Singkatnya, Tirtanan tidak ingin ada pertempuran lebih jauh di tanah mereka.

Panji-panji Tirtapura berkibar mengiringi barisan pasukan itu. Sebuah panji yang terlihat familier. Panji merah dengan lambang seperti lingkar Surya Majapahit dan ornamen mengalir di luarnya. Inikah Kerajaan Tirtapura? Kerajaan yang konon katanya, dibangun dari puing-puing kekalahan Perang Paregreg beratus-ratus tahun silam?

Setelah berbagai kasak-kusuk kekhawatiran dan ketakutan di antara para warga, aku akhirnya menyaksikan sebuah perkembangan dari peristiwa ini. Wijayatirta Adiguna, raja baru Tirtapura, datang bersama lima orang tangan kanannya dengan menggunakan kuda. Mereka mendatangi Desa Tirtanan dan ingin bertemu dengan kepala desa.

"Siapa kepala desa di tempat ini!" ujar Raja Adiguna, sesampainya di desa.

"Sa-saya, Gusti Pangeran," jawab Pak Kusno seraya memberi tabik.

"Kau! Hendaklah kau memberi tabik yang benar pada raja baru Tirtanan ini!" sentak salah satu ajudan Raja Adiguna.

"Mo-mohon maafkan hamba, Gusti Pangeran." Dengan tangan tuanya yang gemetar, Pak Kusno menundukkan badan sembari mengangguk-angguk takzim.

"Hmm ... kebetulan sekali. Aku di sini ingin bertemu denganmu, untuk membahas mengenai hubungan kerajaan dengan tempat ini," kata Raja Adiguna seraya tersenyum licik.

"Hubungan apa, yang Gusti Pangeran maksudkan?" tanya Pak Kusno.

"Aku ingin menetapkan Tirtanan sebagai wilayah dari Kerajaan Tirtapura," sumbar Raja Adiguna.

"Ah ... hamba kurang begitu paham dengan ketatapan Gusti Pangeran, bukankah selama ini, kami dapat hidup dengan bebas di tempat ini? Tanpa ada usikan dari tanah Tirtapura?" tanya Pak Kusno.

"Itu sudah sebuah cerita masa lalu, Pak Tua! Dengarlah kalian semua! Aku, Wijayatirta Adiguna, akan menyatukan seluruh wilayah, dalam satu kekuasaan tunggal Kerajaan Tirtapura!" lantang Raja Adiguna.

Suara kasak-kusuk di antara para warga semakin menghebat. Di tengah kebingungan itu, barisan kelompok berkuda di cakrawala perlahan mendekat ke Desa Tirtanan. Mereka berasal dari daerah Orang-Orang Bersarung. Di antara barisan tersebut, Nai Poaléng, Nan Poangse, dan Elo Naode berada di garda terdepan barisan berkuda yang membawa senjata lengkap tersebut.

"Akhirnya, orang yang paling disegani di Tanah yang Diberkati ini telah datang," ujar Raja Adiguna lepas, seraya menyeringai licik.

Aku, di antara barisan warga yang sedang penasaran tersebut, mencium sebuah gelagat tidak baik darinya. Segera setelah rombongan itu datang, Nenek Naode turun dari kudanya, sembari menghardik dan menuding Raja Adiguna.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang