39. Kebenaran Yang Tersimpan

149 22 2
                                    

Aku tercengang tanpa bisa berkata-kata ketika mendengar nama Profesor Abram disebut. Orang ini, Baginda Raja penguasa Kerajaan Tirtapura, dari mana dia kenal dengan Profesor Abram. Ratusan pertanyaan, spekulasi, teka-teki mulai berkeliaran di dalam kepalaku dengan liar. Apa? Bagaimana? Mengapa? Kapan?

"T-Tunggu sebentar, Baginda!? A-Anda kenal dengan Profesor Abram Cahya?" tanya Rendra terbata-bata.

"Iya. Aku mengenalnya sudah puluhan tahun lalu," ujar Wijayatirta. Penuturannya malah membuatku semakin tambah penasaran. Makin banyak pertanyaan dan spekulasi yang berkembang.

"Juga, Anda kenal dengan ayah saya??" tanya Rendra lagi.

"Ayahmu dikenal dengan Penjaga Tanah Dewa. Dia adalah Penjaga Tanah Dewa yang menjaga kedamaian di seluruh alam Tirtanan dan Tirtapura," jelas Wijayatirta. Rendra terkekeh.

"Tidak mungkin."

"Mata itu adalah mata yang dimiliki oleh Surbakti. Engkau sudah pasti anak dari Surbakti," ujar Wijayatirta. Rendra lantas kembali terkekeh seraya menggelengkan kepala.

"Tidak mungkin. Orang itu ... tidak mungkin. Anda salah mengenali orang, Baginda."

"Aku tidak mungkin salah. Aku mengenali Surbakti, karena dia adalah orang yang tumbuh di Tanah yang Diberkati," sahut Wijayatirta mantap.

Rendra berpaling ke arah Putri Sitaresmi, yang sama bingungnya.

"Ah, Tuan Putri. Apakah Baginda Wijayatirta sedang menjalani rangkaian pengobatan, sehingga dia melantur?" tanyanya.

"Aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan, tetapi tidak. Ayahanda dalam keadaan yang sehat," ucap Putri Sitaresmi. Kemudian, Rendra seperti terkekeh pasrah sembari meraup mukanya. Aku yakin suatu fakta lain yang coba dibeberkan oleh Raja Tirtapura itu mungkin membuatnya terguncang. Penolakan besar-besaran sudah pasti berkecamuk di dalam batinnya. Aku hanya tahu dari rekaman kehidupan Rendra yang pernah aku intip, bahwa Rendra memandang dingin figur ayahnya. Aku yakin, saat ini dia sedang dihajar oleh kebingungan, fakta yang menamparnya, serta perasaan yang berbeda-beda teraduk dalam satu wadah.

"Lalu ... di mana ayahku sekarang?" tanya Rendra.

"Ia tidak pernah kembali untuk mengambil pusakanya yang kini tersimpan Hutan Timur. Sejak Ayahmu keluar dari Tirtanan, itulah terakhir kali kami melihatnya," ujar Wijayatirta.

Kini pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggema di dalam pikiranku. Satu hal yang dapat disimpulkan dan sedari tadi berkecamuk di dalam otakku yang hendak dikeluarkan adalah ...

"Baginda Wijayatirta, kenapa aku tidak tahu menahu soal ini!? Kenapa ayahku merahasiakan siapa dirinya sebenarnya!? Engkau harus menceritakan padaku kebenarannya, Baginda Wijayatirta!" raungnya.

Teman di sebelahku mulai sengklek!

"Wooi! Poinnya bukan di situ, Rendra!? Kenapa kauingin mengetahui tentang ayahmu, jika kita bisa menanyakan bagaimana ayahmu keluar dari Tirtanan!?" sungutku.

"Aaa! Itu tidak penting, Bekti! Yang terpenting adalah, bagaimana pria tidak bertanggung jawab itu bisa-bisanya menyembunyikan semua fakta itu padaku! Karena dia, ibuku jadi harus menderita di atas ranjang rumah sakit!?" Rendra heboh sendiri. Aku sampai meraup muka sembari memaki dalam hati sejadi-jadinya, hingga mengentakkan kakiku dengan sebal.

"Kenapa tidak tanya Profesor Abram saja kalau begitu!? Pasti dia juga tahu tentang ayahmu!?" protesku.

"Kaseb, Bek! Kaseb! Kita sudah di ujung pucuk hutan Tirtanan dan para prajurit begundal itu berlarian di hutan untuk mencari kita! Kalau begitu, kenapa tidak kauajak juga Profesor Abram tadi, ha?" Rendra tidak mau kalah sembari

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang