8. Jangan Percaya Butiran Debu di Kaki Langit

312 60 22
                                    

Tidak ada pemaksaan dalam hal perdebatan kemarin malam. Berulangkali Pak Kusno meminta maaf atas ketidakjelasan yang menyebabkan terjadinya perpecahan pendapat itu. Segera setelah semua disetujui, pagi harinya, rombongan yang memutuskan untuk meninggalkan Desa Tirtanan, telah bersiap dengan segala barang bawaan mereka.

Hanya aku, Profesor Abram, Alesya, Annelies, dan Pak Witno—sopir bus kami—, serta Bekti yang terlihat tidak membereskan barang bawaan. Enam orang akan tetap tinggal di Desa Tirtanan. Entah mengapa. Al memberi tahu kalau desas-desus yang disebarkan Des sudah membuat muak dirinya. Dia menjelaskan bahwa Des Masnafi telah menyebarkan kebohongan, kalau orang-orang yang tinggal adalah orang-orang yang tidak mau repot kembali dengan terjebak di dalam hutan. Annelies tampak bersedih, ketika ia harus berpisah dangan temannya, Gita, yang memutuskan untuk ikut dengan rombongan yang pergi.

"Kami memutuskan ... untuk mengirim tim ekspedisi bersama kalian ...," ujar Pak Kusno. Tim ekspedisi dipimpin oleh Pak Trikarliek dan Pak Basuki. Ekspedisi yang menjadi ekspedisi keluar warga Desa Tirtanan adalah yang ke empat, setelah percobaan sebelumnya juga tidak membuahkan hasil.

"Aku tahu, kecil kemungkinan kalian bisa keluar. Namun, kami akan mencoba sekali lagi. Toh ... kalian punya barang-barang yang tentunya bisa membantu, bukan?" ujar Pak Basuki.

"Pak Tri adalah ketua ekspedisi sebelumnya. Dia dan beberapa orang yang akan membantu kalian, sudah hapal dengan beberapa rute yang ada di dalam hutan," jelas Pak Kusno seraya memperkenalkan Pak Tri. Ekspedisi mengirimkan sekitar dua belas orang yang akan 'mengawal' kelompok pergi, untuk keluar, setidaknya sampai menemukan jalan raya atau semacamnya.

"Untuk pengawalan ... bukankah ini cukup besar?" Prof. Abram bertanya seraya melirik barang bawaan tim ekspedisi yang berada di tiga buah tandu, dua kereta dorong, dan dua kuda.

"Kalau kalian berhasil menemukan jalan keluar, bukankah itu adalah suatu pencapaian besar, Pak Abram? Bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita." ujar Pak Kusno.

"Apa mereka akan baik-baik saja?" celetuk An yang masih khawatir.

"Tenang ... mereka dibantu orang-orang ahli dan kenal daratan ini ...," sahutku datar.

"Yah ... kuharap mereka tidak buat kehebohan," sambung Bekti.

Pagi itu, sekitar pukul sembilan pagi, rombongan ekspedisi berangkat meninggalkan desa Tirtanan. Sontak desa itu menjadi sedikit lebih sepi daripada biasanya. Kami yang tinggal hanya dapat berharap, mereka dapat menemukan apa yang tidak ditemukan oleh orang-orang yang sudah lebih dulu mencari ini.

****

Sehari setelahnya.

Aku dan Bekti duduk terlongong-longong di teras rumah kami menginap sementara di Tirtanan. Matahari yang terik kadang-kadang terselimuti awan, sehingga rasanya tidak terlalu panas. Angin semilir khas pedesaan juga sesekali melintas.

Sepi.

Tenang.

Burung-burung berkicauan, lalu lalang angsa berbaris, kerbau melenguh yang menarik pedati, dan suara belalang mengerik siang itu melintas di kuping kami berdua.

Al yang kebetulan lewat di depan rumah kami, memandang kami dengan sengit.

"Jadi ... kalian memutuskan untuk tinggal di sini, lalu jadi pengangguran? Sampah kalian!" ejeknya.

"Terjebak di dalam sebuah komunitas tanpa adanya alat dari peradaban masa kini yang memadai, membuat kami serasa kebingungan dengan hidup kami sekarang," celetuk Bekti.

"Bukankah kalian bersikeras untuk tinggal dan lanjutkan praktik kerja nyata kalian!? Kerjakan apa yang harus kalian lakukan, sialan!" protes Al sengit.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang