Sepuluh hari aku berada di tempat asing bernama Tirtanan.
Perlahan-lahan aku mulai mengenali kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat setempat. Masyarakat yang tetap asri dan damai dengan kehidupannya, tanpa terhegemoni oleh ingar-bingar peradaban modern. Aku mungkin akan membagi ceritaku pada beberapa bagian yang terpisah. Namun, aku tertarik untuk bercerita, terutama ketika hari itu, aku sedang berjalan-jalan di jalan setapak di antara padang rumput dan ladang para penduduk desa.
Sebelah kiriku adalah ladang jagung dan kacang yang ditanam penduduk Tirtanan. Agak jauh sebelum tempat aku berjalan, lapangan luas tempat sapi-sapi milik seorang warga Belanda merumput. Sedang sebelah kiriku adalah stepa luas tempat tanah Orang-Orang Suku Bersarung tinggal.
Masyarakat Suku Bersarung adalah masyarakat mayoritas di Tirtanan. Telah menempati daerah asing ini sejak lama. Beberapa generasi masyarakat Suku Bersarung telah hidup, berkeluarga, dan menjalin peradaban jauh sebelum para pendatang itu menemukan surga kedamaian di tengah rewelnya dunia akan persaingan global. Bertempat tinggal di gubuk berdinding kayu dan beratap gedek, tipi, atau tenda-tenda melingkar, seperti yang telah kuceritakan sebelumnya.
Masyarakat mereka lebih gemar untuk mencari makanan di hutan, terlepas beberapa pengaruh cocok tanam modern mulai menyentuh masyarakat Suku Bersarung. Mereka rata-rata mampu menumbuhkan tanaman biji, seperti jagung atau milet. Biji-bijian adalah makanan pokok mereka. Mereka lebih andal menumbuhkan jagung, milet, atau sorgum, daripada padi. Diversifikasi pangan adalah sebuah keindahan yang tidak kautemukan di daerah lain.
Walah-walah, bung! Ada saatnya kau akan sadar kalau makan nasi adalah sebuah pengkondisian massal didikan Orde Baru. Jadi, jika kau kelaparan di tempat tertinggal gara-gara tidak ada nasi, maka orang-orang pra-peradaban modern ini malah akan tertawa terpingkal-pingkal. Jadi pelajaran yang bisa kaudapat adalah : janganlah perutmu terhegemoni oleh nasi. Sayangnya, hampir seluruh masyarakat Jawa—mungkin Indonesia—telah terhegemoni antargenerasi.
Satu hal lain yang menarik, mereka pandai memelihara dan menernakkan kuda, pandai mengolah susu kuda, juga pandai melatih kuda sebagai alat transportasi mereka. Kuda adalah sarana transportasi mereka dari dulu hingga kini, walaupun adanya pengaruh sepeda onthel yang dibawa para pendatang. Tentu saja, kuda lebih cepat dan unggul dalam hampir segala medan.
Mereka selalu berkumpul di malam hari, membentuk lingkaran, melingkari api unggun dan saling bercerita. Tua-muda, laki-perempuan, anak kecil-lansia. Ini adalah kebiasaan turun-temurun Suku Bersarung. Beberapa orang ada yang berprofesi sebagai tukang cerita. Kebanyakan orang-orang tua seperti Nenek Ketua Elo Naode. Mereka berkumpul di sebuah lapangan besar dengan atap langit malam cerah penuh bintang. Wah, betapa indahnya langit di sini, ketika polusi cahaya hampir sedikit. Hal ini juga ditiru oleh kelompok minoritas Jepang Shimabara yang bermukim di daerah Timur Laut.
Di sini, anak-anak tidak butuh kelas, tidak butuh sekolah. Mereka belajar dari apa yang mereka temukan di kehidupan mereka sehari-hari. Anak-anak mendengarkan cerita dari para tukang cerita setiap sore, diajarkan menanam jagung, diajarkan mengumpulkan air dari hujan, diajarkan menyusun pagar dan atap, diajarkan menganyam bilah bambu, diajarkan membuat buah tangan dari kalsedon dan akar pohon.
Yang laki-laki diajarkan menggunakan berburu dengan anak panah atau senapan angin yang dibawa para pendatang, juga diajarkan cara menunggang dan merawat kuda. Mereka diajarkan bahasa ibu mereka, belajar bahasa Jawa atau Indonesia, bahkan Belanda atau Jepang. Ketika mereka bermain, mereka bisa bermain apa-saja, seperti kau dapat memainkan kaset Nitendo berisi 999 permainan dengan kenyataan. Mereka tidak butuh belajar delapan belas macam ilmu dalam enam hari atau sepuluh mata kuliah dalam enam bulan untuk bertahan hidup di sini. Tidak penting bagi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACKWOODS LOST - ARCHIVED
Pertualangan[15+] Narendra Surbakti tidak menyangka, Kuliah Kerja Nyata yang dia ikuti dapat membuat perubahan drastis hidupnya dalam kurun waktu satu bulan. Terjebak di wilayah tanpa ada sinyal telepon dan listrik, membuat dia dan sembilan belas orang yang iku...