14. Bermain di Tepi Pantai Waktu Badai Adalah Ilegal di Tirtanan

291 52 20
                                    

Pemandangan padang rumput dan ladang para warga telah tergantikan perlahan oleh suara desiran angin pantai, barisan pohon kelapa, dan gulungan ombak. Laut! Sebuah pemandangan tidak biasa yang kusaksikan saat ini. Benar-benar merindukan masa di mana aku masih bisa dengan enaknya melancong ke berbagai pantai di sepanjang Pesisir Selatan Jawa.

Pantai ini masih tergolong pantai langka yang jarang dikunjungi orang. Sebutan pantai perawan, pantai endemik, atau pantai organik—apa pun itu namanya—benar-benar beda terlihat dari suasananya. Kami menyaksikan para nelayan yang sedang menepikan perahunya di pinggir pantai, sampai kami tidak sadar, kalau ini masih sekitar pukul tujuh pagi. Berangkat setelah subuh agar dapat mendapatkan ikan segar rasa-rasanya suatu hal yang mutlak diperlukan bagi orang-orang ini.

Berangkat dari Desa Tirtanan, melewati Balai Pos Dagang yang mulai ramai dengan para pedagang, melintasi padang rumput di mana jalan satu arah menuju pantai seakan membelah padang rumput tersebut. Desa nelayan ini—tanpa nama, karena sering menyebut orang-orang sekitar dengan Desa Nelayan—sudah ramai dikunjungi orang-orang dari segenap penjuru Tirtanan. Orang-orang bersarung, orang Belanda, orang Jepang, Penduduk Desa Tirtanan, tumpah ruah datang ke sini, berkompetisi dalam pelelangan ikan.

"Oji-san! Apa Oji-san pernah melihat laut?" Begitu kata Kaaya, sesampainya kami di Desa Nelayan.

"He? Ka-Kaaya, aku bukan pamanmu dan aku tidak setua itu ... tapi ... Oji-San ini sudah banyak melihat laut, Nak!" sahutku seraya bergaya dan menepuk-nepuk dadaku dengan rasa bangga. Bekti berdecak tidak senang.

"Yah ... dipakai juga Ojisan-nya ...," komentar Bekti.

"Diam kamu, Bek!" protesku.

"Rendra, berhentilah untuk membalik statement-mu yang kaulempar padaku tadi di jalan," sahut Ronny.

"Ah, Ronny, kau hanya tidak terlalu ramah dengan anak kecil," balasku sembari mengibaskan tangan.

"Lihat! Sudah ramai saja!" Bethlehem memecah perdebatan seraya menunjuk ke arah Desa Nelayan, yang sudah ramai seperti pasar pagi dengan obral diskon mingguan.

"Hmm ... apa mereka membeli ikan segar di sini?" tanyaku pada Yamada-san.

"Ikan segar kualitas terbaik selalu datang langsung dari sumbernya, Rendra-san, Kalau di pasar kebanyakan sudah diolah dengan dikeringkan, diasapkan, atau diasinkan dan telah disimpan dalam jangka waktu lebih dari satu hari. Rasanya beda jika beli langsung," jelas Yamada-san.

"Yah ... ketika belum terlalu ada alat pendingin atau es di sekitar sini, orang-orang biasanya pakai cara itu," sahut Yuhei-san, salah satu warga Jepang yang ikut dalam rombongan.

"Tapi ... dengan keterbatasannya itu ... menjadikan ...," simpulku, ketika Bekti langsung menyerobot perkataanku.

"Kampung nelayan menjadi sentra perdagangan terbesar kedua di Tirtanan, setelah Balai Pos Dagang!"

"Hmm ... apa ... ini termasuk monopoli perdagangan?" tanya Bekti melempar pertanyaan.

"Kalau dilihat-lihat sih begitu, tapi tentu saja tiap pedagang punya harganya sendiri, Bekti," jawab Yamada-san.

"Beberapa orang ada yang masih menukar ikan dengan barang lainnya. Namun, kami memakai keping uang sebagai alat tukar," lanjutnya sembari memperlihatkan sekeping koin bulat dengan lubang kecil di tengahnya.

"Hoo ... uang benggol? Sepertinya terbentuk dari campuran emas dan tembaga," ujarku berkomentar.

"Iya, kami memakai keping uang ini untuk bertransaksi."

"Berapa konversi uang Indonesia sekarang dengan uang ini, kira-kira?" celetuk Bekti.

"Satu keping kira-kira bisa dibuat untuk beli tiga ekor ikan," ujar Yamada-san.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang