11. Di Antara Kabut

278 58 25
                                    

Oke, mari kita kesampingkan anak kecil—atau roh hutan—yang main-main di depan aku dan Annelies tadi. Sesaat kami meleng ketika suara Bekti bersahutan dari arah tidak jauh dari kami. Ketika kami menengok lagi, sosok tadi hilang entah ke mana gerangan. Ketika kami masih tertegun dengan acara tatap-tatapan dengan sesuatu seperti anak kecil, kami disadarkan oleh suara teriakan Bekti yang memanggil-manggil nama kami.

"Oi!!" Bekti berteriak memanggilku sepertinya. Aku yakin dia melihat kami berdua, walau tidak jelas.

"Bekti! Kami di sini!" teriakku. Benar saja, setelah bayangan mendekat, kami dapat melihat Bekti, dengan wajah kuyu dan muka tegang sehabis melihat sesuatu. Baru kali ini aku melihat Bekti ketakutan semacam ini. Tidak, ekspresinya lebih ke arah tercengang dan tegang, daripada memasang muka aneh yang ketakutan.

"Whoa!? Bekti. Kau ada di situ rupanya!? Kenapa kau terlihat begitu ketakutan seperti itu?" tanyaku.

"Ah ... anu ... Ningsih ...." Dia terbata-bata. Sesekali ia menelan ludahnya sebentar.

"Ningsih?" Aku mengulangi kata terakhir dengan nada bertanya.

"Demi badan semok Ningsih! Aku bersumpah melihat Ningsih di antara kabut!" ujar Bekti dengan penuh percaya diri. Dengan tangan terkepal sembari mengantarkan ekspresi wajahnya, seolah-olah ia sudah melihat keindahan duniawi dalam kabut tebal hutan belantara yang mencekam penuh jebakan ini.

Aku dan Annelies hanya bersuara "haaah" seperti orang menguap yang dibuat-buat, sebelum akhirnya aku menanggapi dengan cukup ketus.

"Hanya dugaanku, atau otakmu sudah harus dibersihkan, Bek?"

"Aku melihatnya!" ujar Bekti menggebu-gebu, seolah-olah ia memang benar melihat Ningsih di antara pekatnya kabut yang turun.

"Segitu tertariknya kau dengan Ningsih, Bek?" tanyaku seraya mengerutkan dahi.

"Kenapa? Kau terlihat tidak begitu menyukai ketika aku bercerita tentang Ningsih?" sungut Bekti.

"Wah ... wah, apakah karena kau yang jomblo, sampai-sampai kau membayangkan sesuatu yang menghebohkan dalam satu banding seratus orang yang pernah mengalami kejadian tersesat di antara kabut?" tanyaku—yang tidak pernah keluar dari singgungan ejekan ini sebelumnya—kepada Bekti.

"Tidak," jawab Bekti ketus.

"Sudahlah ... yang penting kita selamat," ujar Ann berusaha mengalihkan topik.

Tiba-tiba kami mendengar ada suara pergerakan dari arah depan. Bunyi gemerisik—kemungkinan daun-daun berguguran yang terinjak—yang semakin lama semakin terdengar jelas, seolah-olah sesuatu mendekat ke arah kami bertiga. Lalu, terdengarlah teriakan yang memastikan kalau itu memang manusia. Suara cempreng dan aneh yang dibuat-buat.

"Hei, kalian yang di sana!?" Suara familier khas dari Ferdyan membuat kami lega.

"Siapa?" tanya suara seorang perempuan—yang di mana itu adalah Alesya—yang sumber suaranya sama dengan suara Ferdyan. Mereka berdua sudah bertemu dahulu.

"Ini aku ini aku ini aku!" teriakku dengan cepat.

"Itu tidak lucu, Rendra! Kodemu jelek sekali!" Komentar itu sudah pasti dari Alesya. Tidak ada komentar yang lebih pedas di daerah ini selain dia. Oh, kemungkinan aku harus menambahkan sebuah titel baru padanya. Alesya sang komentator pedas di Dataran Tirtanan.

Keadaan kami tidak cukup baik, ketika kami harus mengandalkan penerangan dari sinar bulan purnama, yang bahkan sinarnya hampir tidak dapat menembus kanopi hutan. Hanya ada satu obor tersisa yang menyala dan kini dipegang Ferdyan. Meski demikian, ini tidak seperti kebanyakan film seram yang ber-setting di hutan belantara. Tidak akan ada roh jahat yang berusaha untuk membunuhmu.

THE BACKWOODS LOST - ARCHIVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang