Kita benar-benar terpojok.
Terpojok pada sebuah keputusan tiba-tiba dari Baginda Wijayatirta yang memberikan sebuah penawaran bagi rombongan ini. Keputusan yang tidak bisa diambil begitu saja dengan gegabah. Kalau kami dapat membantu Wijayatirta untuk menyingkirkan Adiguna, maka kami akan diberikan sebuah imbalan berupa jalan keluar dari Tirtanan.
Aku segera cepat berpikir kalau ini tidak lain hanyalah sebuah permainan politik internal Kerajaan Tirtapura. Aku kini malah tidak mempercayai siapa pun. Aku menganggap semua yang ada di Tirtanan telah sinting. Aku sadar, bahwa kami hanyalah sekumpulan manusia post-modern yang terdampar di tanah asing dengan ingar-bingar dua kubu. Tirtanan dan Tirtapura.
Pukul dua belas malam telah berlalu. 11 Hari sebelum tenggat waktu. Aku tidak dapat tidur karena terus memikirkan sebuah penawaran dari Wijayatirta. Entah apa yang akan kami lakukan. Menerimanya? Berarti kami harus ikut andil dalam peperangan internal Tirtapura, yang merembet ke wilayah seberang. Menolaknya? Entah ancaman apa yang akan dilontarkan oleh Wijayatirta nanti? Aku mondar-mandir seperti orang yang kebingungan mencari sesuatu.
"Hoi, bisakah kau diam?" celetuk Ronny sembari melirikku. Aku masih mondar-mandir, ketika kaki kiriku dijegal oleh Emi. Aku terjungkal dan terperosok ke depan. Ketika bangkit, aku sudah tidak kuasa menahan emosi dan meluapkannya keluar.
"Apa maumu, perempuan ganas pembedil bandit!?" sungutku.
"Berhentilah mondar-mandir seperti kunyuk hutan!? Aku sumpek melihatmu seperti itu!" seloroh Emi.
"Tuan Putri Sitaresmi, ini adalah salah dari ayahmu!" tudingku. Sang Tuan Putri yang tidak terima, dua langkah meloncat tepat di depan mukaku sembari menatapku tajam.
"Apa? Ayahku!? Apa yang salah dengan ayahku!? Ayahku memang berencana menghentikan Adiguna, demi keamanan Tirtapura dan Tirtanan," sungutnya.
"Kaupikir, kami bisa ditarik dengan mudahnya kepada persoalan internal kerajaan kalian? Kalian sedang terlibat perang saudara, yang memperebutkan tampuk kekuasaan. Aduuh! Tidak di Jakarta, tidak di Tirtapura. Semuaaanya berebut kekuasaan!" Aku balas memprotes.
"Adiguna harus dihentikan, Bekti. Satu-satunya cara menghentikan perang adalah dengan menghentikan Adiguna duluan," tukas Emi.
"Lantas, setelah Adiguna kalah, siapa yang menjamin ketentraman kembali hadir di Tirtanan? Apakah Tirtapura bisa menjamin perdamaian?" balasku. Emi menghela napas dan membuang pandangan.
Sementara itu, beberapa prajurit Bhayangkari hanya duduk termangu sembari menyaksikan perdebatan kami berdua. Beberapa perempuan itu kadang cengengesan dan saling bertaruh barang satu atau dua keping uang Tirtapura untuk siapa yang kalah debat. Ajudan Tuan Putri, Padma hanya menghela napas, menggelengkan kepala sembari bersandar di sebuah pohon. Beberapa anak kelompokku terus mengomel karena kami berdua ribut sendiri.
Sederhana saja. Bagaimana bisa aku mempercayai raja yang suka main rahasia dan kongkalikong seperti itu!? Aku menyadari betapa mengerikan para raja zaman dahulu, di mana strategi politik mereka ngotot sekali. Kembali dihadapkan, ketika kami menerimanya, lantas apa yang kami lakukan sebagai bentuk kontribusi kepada Tirtapura untuk menyingkirkan Pangeran Adiguna? Apa pilihan yang bisa ditawarkan kepada raja yang kepingin menggusur anaknya—tidak, lebih tepatnya kunyuk sombong yang keparat—dari tahta sekarang?
Angkat senjata? Kawan, kami bukan golongan Kesatria dan hanya para akademisi. Permainan politik? Bah, bahkan beberapa dari kami tidak paham dengan itu. Mata-mata? Terdengar seru, tetapi harga nyawa bisa jadi taruhannya. Penyelundup? Apa yang diselundupkan juga? Diplomasi? Bahkan hubungan Tirtapura dan Tirtanan ini sudah bagai bumi dan langit.
Ah ... aku masih teringat kata-kata ketika ia mengetahui segala hal mengenai Tirtapura,Tirtanan, ayah Rendra ... semuanya berputar di dalam kepalaku dan rasa-rasanya kini dari kepalaku mulai timbul asap karena terlalu banyak berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACKWOODS LOST - ARCHIVED
Pertualangan[15+] Narendra Surbakti tidak menyangka, Kuliah Kerja Nyata yang dia ikuti dapat membuat perubahan drastis hidupnya dalam kurun waktu satu bulan. Terjebak di wilayah tanpa ada sinyal telepon dan listrik, membuat dia dan sembilan belas orang yang iku...