Malam itu Ma Ji-liong hanya makan nasi dengan lauk ikan goreng lombok, satu macam menu saja, ada satu mangkuk kuah tulang daging babi juga tersedia di meja, semangkuk kuah ini untuk bininya yang sakit.
Bininya digotong ke atas ranjang dan diselimuti, sudah sadar, tapi rebah diam tidak bergerak, matanya melotot mengawasi langit-langit rumah.
Habis makan Ma Ji-liong merasa iseng, ia duduk santai di kursi malas yang terbuat dari rotan di sisi ranjang. Otaknya memikirkan banyak persoalan, mengenang masa lalu, segala kejadian dan perbuatan dirinya di masa lalu yang patut dibanggakan.
Apa betul perbuatannya dulu patut ia lakukan? Pantaskan diagulkan dan membuatnya bangga?
Manusia dengan manusia, kenapa terdapat jurang pemisah sebesar itu? Kenapa ada sementara orang hidup dalam kemelaratan? Kenapa ada juga orang yang hidup berkelebihan?
Ji-liong sadar, jika bisa memperpendek jarak antara manusia dengan manusia itu, barulah patut berbangga diri. Di sinilah letak kemajuan Ma Ji-liong, setelah merasakan, bisa meresapi, jika sekarang ia masih hidup dalam lingkungan lama, pasti tidak pernah Ma Ji-liong berpikir sejauh dan seluas ini.
Dalam mengarungi hidup, jika manusia mengalami proses hidup yang tidak menyenangkan, menderita pukulan lahir batin, bukankah kejadian itu langsung membawa manfaat bagi dirinya?
Toa-hoan berbuat demikian terhadap Cia Giok-lun, apakah lantaran sebab itu juga? Teringat akan hal ini, perasaan Ma Ji-liong menjadi lega malah, gejolak hatinya jauh lebih tenteram.
Ia yakin, meski belum pernah mengenal pribadi gadis ini, Cia Giok-lun pasti seorang gadis yang suka berbangga hati, gadis ini memang mempunyai nilai tinggi untuk membanggakan diri.
Entah sejak kapan Cia Giok-lun mengawasi dirinya, lama menatapnya. "Coba ulangi sekali lagi," demikian pintanya dengan nada datar.
"Apa yang harus kuulangi?" tanya Ma Ji-liong.
"Katakan, kau siapa dan aku siapa?"
"Aku bernama Thio Eng-hoat, kau bernama Ong Kwi-ci."
"Kita adalah suami isteri?"
"Ya, suami isteri sejak 18 tahun yang lalu, sejak menikah kita tinggal di sini membuka toko serba ada, dagang kecil-kecilan hingga sebesar ini, lumayan. Para tetangga di kampung ini siapa yang tidak kenal kau dan aku?" Ma Ji-liong menghela napas, lalu berkata pula, "Mungkin kau merasa kehidupan ini serba kekurangan, sudah bosan dan sebal tinggal di rumah bobrok ini, maka ingin melupakan pengalaman hidup masa lampau." Ma Ji-liong berganti nada, "Sebenarnya kehidupan begini juga ada baiknya, paling sedikit kita hidup tenteram dan berkecukupan meski sederhana, hanya sayang kita tidak punya anak."
Cia Giok-lun mendengar sambil menatapnya lekat. "Dengarkan," katanya kemudian dengan nada tegas. "Aku tidak tahu dan tidak kenal kau siapa, juga tidak tahu apa yang telah terjadi atas diriku, tapi aku yakin kejadian ini kau lakukan karena disuap atau diperalat orang lain untuk membuatku celaka begini."
"Siapa yang membuatmu celaka? Kenapa membuatmu celaka?"
"Apa betul kau tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya?"
Ma Ji-liong memang tidak tahu, tapi dia bertanya, "Kau kira kau ini siapa?"
Cia Giok-lun menyeringai dingin, katanya, "Kalau kau tahu siapa diriku, kau bisa mati saking kagetnya." Nadanya tinggi mengandung rasa bangga dan jumawa, "Aku putri malaikat, tiada perempuan di dunia ini yang bisa menandingi aku, setiap saat aku bisa membuatmu kaya raya, tapi juga bisa membunuhmu. Oleh karena itu, lekas kau antar aku pulang, kalau tidak akan datang suatu hari aku akan mengiris tubuhmu untuk dimakan anjing."
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AdventureKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...