Pertengahan musim dingin, dan hawa terasa amat dingin menggigit. Lembah itu tertutup oleh salju.
Sejauh mata memandang, yang tampak cuma es, dan bumi kelihatan berwarna putih keperakan. Di lembah bersalju itu, seorang laki-laki sedang sibuk menggali sebuah lubang berukuran lebar tiga kaki, dalam lima kaki dan panjangnya tujuh kaki.
Dia masih muda, kuat, bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Dan lebih dari itu, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar dan berasal dari keluarga berada. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang mahal, dengan mantel berbulu tebal yang berharga seribu tael emas. Dia menggenggam sebilah tombak perak yang berkilauan di tangannya, dan gagang tombak terbuat dari perak murni.
Di atas gagang tombak terukir beberapa huruf berbunyi: "Hong Seng, Gin-jio, Khu".
Pemuda seperti ini seharusnya bukan seorang penggali tanah. Tombak perak sebagus itu juga seharusnya tidak digunakan untuk menggali tanah.
Tempat itu adalah sebuah lembah yang indah di bawah naungan langit biru yang cerah. Tumpukan salju berwarna putih keperakan. Bunga bwe bermekaran dengan warna yang merah menyala.
Dia datang ke sini dengan menaiki kuda, menempuh perjalanan yang jauh. Kuda itu merupakan turunan kuda jempolan yang ternama, harganya pasti amat mahal.
Kuda jempolan. Pelana yang bagus dan mengkilap. Bahkan sanggurdinya pun terbuat dari perak murni.
Mengapa pemuda segagah ini, dengan kuda sebagus ini, mau menempuh perjalanan jauh datang ke sini dan menggunakan senjatanya untuk menggali tanah?
Lubang itu sudah selesai digali. Dia lalu berbaring di dalamnya seperti sedang mengukur besar-kecilnya, apakah sudah cukup nyaman baginya untuk rebah di sana. Apakah pemuda ini menggali lubang itu untuk dirinya sendiri?
Cuma orang mati yang menggunakan lubang seperti ini. Padahal dia masih muda dan sehat, agaknya dia masih bisa hidup selama beberapa puluh tahun lagi. Mengapa dia menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri? Apakah dia ingin mati? Manusia mana pun pasti ingin hidup. Kenapa dia ingin mati? Dan kenapa harus mati di tempat ini?
Hujan salju sudah berhenti sejak tadi malam dan cuaca sudah menjadi cerah. Dia melepaskan pelana kudanya dan menepuk leher kudanya dengan perlahan. Lalu dia berkata, "Pergilah. Carilah seorang majikan yang baik." Kuda yang gagah itu meringkik pelan dan segera berlari keluar dari lembah bersalju itu. Pemuda itu lalu duduk di atas pelana yang ditaruh di atas salju dan mendongak ke angkasa. Entah apa yang sedang dilamunkannya, sorot matanya tampak resah dan sedih.
Saat itulah serombongan orang datang ke lembah bersalju itu. Ada yang membawa kotak makanan. Ada yang memanggul meja dan kursi. Juga ada yang memikul dua guci arak. Mereka semua datang dari luar lembah. Orang yang berjalan di depan tampaknya seperti seorang pengurus rumah makan. Dia datang menghampiri pemuda tadi dan bertanya sambil tersenyum, "Maafkan hamba, Kongcu. Apakah tempat ini Han-bwe-kok?"
Pemuda penggali tanah itu mengangguk. Dia bahkan tidak melirik ke arah mereka.
Orang itu bertanya lagi, "Apakah Toh-siauwya yang mengundang Kongcu ke mari?"
Pemuda penggali tanah itu diam saja.
Pengurus rumah makan itu menghela napas. Dia lalu menggerutu sendiri, "Aku tidak paham. Kenapa Toh-kongcu menyuruh kami mengantarkan makanan dan arak ke sini?"
Seorang temannya tertawa dan berkata, "Anak-anak keluarga kaya kan tingkahnya aneh-aneh. Orang miskin seperti kita tentu saja tidak bakal mengerti."
Segera mereka mengatur meja dan kursi di bawah sebatang pohon bwe, menyiapkan makanan dan arak di atas meja, dan kemudian bergegas pulang.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari luar lembah terdengar suara senandung dengan nada yang tinggi,

KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
مغامرةKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...