Beberapa langkah setelah meninggalkan rumah, baru Ma Ji-liong mendengar suara tangis bayi dari rumah seberang. Beberapa langkah kemudian, sebuah pintu kecil yang ditempel kertas gambar malaikat rejeki terbuka.
Nyonya muda dengan perutnya yang buncit itu sedang berdiri di depan pintu, mengantar suaminya yang masih muda tegap berangkat kerja di ladang.
Ma Ji-liong sengaja pura-pura tidak melihat. Suami muda itu juga tidak menoleh ke kanan kiri, dia beranjak pergi sambil menjinjing buntalan dan memanggul pacul. Nyonya muda itu juga tidak memperhatikan Ma Ji-liong, ia memutar tubuh terus merapatkan pintu.
Bagai anak panah terlepas dari busurnya, mendadak Ma Ji-liong menjejakkan kaki, tubuhnya melejit ke depan, beberapa kali lompatan langsung menerobos ke pekarangan belakang To Po-gi.
Ada suara di dapur, suara ketikan batu untuk menyalakan api, lalu suara membasuh beras hendak menanak nasi. Isteri To Po-gi memang perempuan yang rajin dan setia, tahu apa kewajibannya, sepagi ini sudah siap menanak nasi untuk suami yang akan bekerja di kantor.
Ma Ji-liong tidak perduli, tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, To Po-gi pernah berlatih silat, dulu mungkin pernah menjadi anak buah Thiat Tin-thian, tidak perlu kuatir dirinya kepergok oleh suami isteri itu. Dengan kecepatan tinggi, Ji-liong bergerak lincah melompat ke dalam sumur.
---------------------------------ooo00ooo-----------------------------------
Sekati arak beras sudah diminum habis, pembeli garam kelihatan lebih segar meski semalam suntuk tidak tidur, ia sedang membenahi pembaringan temannya.
Pemakan garam juga tidak tidur, sisa setengah bungkus garam tadi sudah dimakan lagi hingga tinggal seperempat. Melihat kedatangan Ji-liong, mereka tidak menunjukkan sikap kaget atau heran, seolah-olah sudah tahu bahwa Ma Ji-liong bakal kembali lagi.
Begitu kakinya menginjak dasar sumur, Ma Ji-liong langsung bertanya, "Kau adalah Thiat Tin-thian, bukan?"
"Betul," sahut pemakan garam, suaranya tegas dan gamblang. "Aku adalah rampok besar Thiat Tin-thian yang gemar membunuh orang."
"Kau terpukul Sam-yang-coat-hu-jiu Coat-taysu?"
"Betul," sikapnya tampak heran dan kaget, tapi Thiat Tin-thian tidak balas bertanya dari mana Ma Ji-liong mendapat tahu.
"Luka dalammu masih bisa ditolong?" tanya Ji-liong pula.
Kali ini Thiat Tin-thian balas bertanya, "Kenapa kau mencampuri urusanku?"
"Karena kau adalah temanku."
"Kau sudah tahu kalau aku adalah Thiat Tin-thian, masih berani kau berkawan dengan aku?"
"Aku sudah bersahabat denganmu. Perduli siapa kau, sikapku tidak berubah."
Thiat Tin-thian menatapnya lekat-lekat, mendadak ia tertawa lebar, "Selama hidup betapa banyak kesalahan yang pernah dilakukan Thiat Tin-thian, tapi belum pernah keliru bersahabat dengan orang."
Thiat Tin-thian benar-benar tertawa, tawa yang riang. Setelah bersahabat dengan seorang kawan, umpama dirinya terbunuh juga akan mati dengan meram, tidak menyesal.
Pembeli garam menyeletuk, "Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, karena berwatak kasar, berangasan, gegabah dan emosional. Demi membela seorang teman, perbuatan apa pun berani dilakukannya." Dengan suara tandas pembeli garam meneruskan, "Kali ini pasti tidak berbuat salah."
Apa yang ia lakukan kali ini? Bagaimana sampai difitnah orang?
Ji-liong mengulangi pertanyaannya tadi, ia percaya orang ini, "Luka-lukamu bisa disembuhkan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AdventureKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...