Mega putih, langit membiru. Di kejauhan masih ada bangunan rumah, ada toko, suara orang dan keributan yang lazim terjadi dalam perkampungan. Langit tetap membiru, kehidupan dalam toko itu pun masih berlangsung, tapi kehidupan dalam toko serba ada ini bukan lagi milik Ma Ji-liong sendiri, seolah kehidupan sejati makin jauh meninggalkan Ma Ji-liong.
Selepas mata Ma Ji-liong memandang, yang terlihat hanya tanah kosong belaka. Sekian lama ia menjumblek, kaget dan tidak mengerti, bagaimana perubahan ini berlangsung. Waktu ia menoleh, dilihat Thio-lausit sedang menggeliat dan menguap, seperti baru sadar dari pulasnya, entah sadar karena mabuk, atau karena sedih dan mendelu? Atau dari tidur pulas sungguhan? Ada kalanya orang sadar lebih celaka daripada tidur, lebih enak mabuk saja, karena begitu ia membuka mata, seketika ia membelalak, kecuali kaget, heran dan juga ngeri.
Ma Ji-liong bertanya kepada Thio-lausit, "Apa yang kau saksikan?"
"Tidak ada yang kusaksikan," sahut Thio-lausit. "Apa pun tidak menyaksikan." Tidak menyaksikan apa pun adalah amat menakutkan dibanding kau melihat sesuatu yang mengerikan, tidak tahu seolah-olah ditakdirkan menjadi ketakutan yang terbesar dan mendalam dalam kehidupan manusia.
Ma Ji-liong berkata pula, "Umpama mereka mengurung kita hingga mati kelaparan di sini, sebetulnya tak perlu membongkar rumah-rumah penduduk itu, mereka kan bisa bersembunyi di rumah-rumah itu untuk menyelidik keadaan kita di sini dari dekat." Ma Ji-liong tak habis mengerti, kenapa rumah-rumah penduduk dibongkar hingga rata dengan tanah dan daerah perkampungan itu menjadi tanah kosong. Dengan mengajukan pertanyaan, Ji-liong berharap Thio-lausit bisa memberi keterangan kepadanya, ikut memecahkan teka-teki ini.
Belum Thio-lausit menjawab, dari arah barat muncul barisan 28 pemuda berpakaian hitam ketat, mereka muncul dengan berbaris rajin dan rapi, langsung menuju ke depan tokonya. Ma Ji-liong dapat membedakan ke-28 pemuda yang ini bukan barisan yang tadi, namun mereka terdiri pemuda-pemuda kekar dan kuat juga, sama-sama berseragam hitam, hanya pakaian mereka masih kering, belum basah oleh keringat, karena mereka belum bekerja berat. Yang mereka bawa juga bukan kantong kain hitam, tapi keranjang bambu hitam.
Keranjang bambu ini kelihatan lebih berat karena isinya batu-batu hitam berbentuk bulat seperti bola hitam mengkilap hingga kelihatan seperti mutiara hitam. Sudah dua puluh tahun lebih Ji-liong hidup di dunia ini, tak pemah ia melihat batu seperti itu, susah ia mengenali anak buah siapakah pemuda-pemuda gagah tegap dan cekatan ini. Batu hitam bulat dan mengkilap seperti itu jelas susah ditemukan meski hanya satu atau dua butir saja. Gembong-gembong silat Kangouw yang mampu memelihara atau mendidik pemuda-pemuda berseragam hitam seperti mereka juga hanya beberapa gelintir saja.
Yang lebih aneh lagi, pemuda-pemuda itu menata batu-batu dalam keranjang bambu itu di atas tanah secara teratur, rapi dan rapat baris demi baris, mirip petani yang sedang menanam padi di sawah. Gerakan mereka rapi dan rajin serta seirama lagi cepat, tanah kosong yang berlumpur itu seketika tertutup oleh taburan batu hitam itu.
Lekas sekali keranjang bambu para pemuda Itu sudah kosong, kejap lain mereka sudah berlari pergi dengan derap yang tetap rapi. Belum lenyap bayangan ke-28 pemuda yang ini, dari arah Timur muncul lagi 28 pemuda lain dalam bentuk barisan yang sama, berseragam hitam juga membawa keranjang bambu hitam berisi batu-batu bulat warna hitam mengkilap pula, derap langkah mereka mirip pasukan kerajaan yang sedang mengadakan upacara di halaman istana.
Ma Ji-liong ingin bertanya pada Thio-lausit, apakah ia tahu anak buah siapa gerangan para pemuda ini? Atau menerka dari mana asal mereka? Entah apa yang sedang dilakukan oleh para pemuda itu?
Ma Ji-liong belum sempat bertanya karena mendadak dilihatnya perubahan yang ganjil pada wajah Thio-lausit. Sejak tadi Thio-lausit bersikap acuh tak acuh, malas dan mengantuk, namun sorot mata yang tadi guram kini mencorong terang dengan menampilkan rasa takut dan ngeri. Tanpa diperintah atau diminta oleh Ma Ji-liong, mendadak ia memburu keluar. Dengan kecepatan yang luar biasa, satu persatu ia pasang daun pintu toko serba ada dan menutupnya rapat. Padahal tadi ia bersikap bandel untuk tetap membuka toko ini seperti biasa supaya tidak menarik kecurigaan musuh, mengapa sekarang tanpa diminta ia malah menutup toko?
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AdventureKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...