Ranting kering terbakar sangat cepat, dan api unggun pun semakin redup. Ma Ji-liong ingin menjaga ketenangannya, tapi pikiran di benaknya tidak mau menurut. Tubuhnya makin dingin dan akan segera membeku. Api unggun akan padam, tapi dia tetap tidak tahu kapan totokan di tubuhnya akan terbuka.
Dan sekarang adalah saat yang paling dingin di malam hari. Jika terus begini, mungkin dia akan mati beku di sini. Dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Kemungkinan dirinya sendiri akan mengalami nasib seperti ini sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.. Memang tidak seorang pun yang bisa meramalkan masa depan, tidak seorang pun juga yang tahu tentang takdirnya. Inilah permainan nasib!
Ma Ji-liong menghela napas dalam-dalam, baru sekarang dia menyadari bahwa sifatnya yang angkuh sudah lenyap. Saat itulah, mendadak gadis tadi mengangkat kepalanya dari mantel bulu rubah itu.
Jalan darah Ma Ji-liong masih tertotok, tapi jalan darah gadis itu tidak. Dengan sepasang matanya yang seperti mata tikus, sekian lamanya dia melirik ke sana ke mari seperti tikus yang sedang mengawasi keadaan sekelilingnya. Lalu dia menghela napas yang panjang sekali dan berkata, "Siapa yang menyangka kalau orang gemuk itu tiba-tiba akan pergi dan kau ternyata masih hidup."
Itu memang kejadian yang tak terduga! Tak seorang pun yang bisa membayangkan kalau Peng Thian-pa tiba-tiba akan melepaskan Ma Ji-liong dan melarikan diri seperti kelinci yang terkena panah, kabur ke dalam hutan rimba.
Si nona bangkit berdiri, sambil mengenakan mantel bulu Ma Ji-liong. Sambil tersenyum dia berkata, "Bulu mantel ini lumayan. Rasanya enteng, halus dan hangat. Ukurannya pun pas."
Untunglah Ma Ji-liong masih bisa bicara.
Dia tak tahan lagi dan berkata, "Sayangnya mantel itu milikku."
Gadis itu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan milikmu. Bukan kepunyaanmu lagi."
"Kenapa begitu?" Ma Ji-liong bertanya.
"Karena kau sudah memberikannya pada orang gemuk tadi, yang kemudian memberinya padaku," gadis itu menerangkan.
Lalu dia menambahkan sambil tersenyum riang, "Jadi mantel ini sekarang milikku."
Ma Ji-liong tidak mau berdebat. Dia bukan orang yang kikir, dan tentu saja dia tidak perduli dengan urusan seperti itu. Tapi dia benar-benar sangat kedinginan. Maka, tak tahan lagi dia pun bertanya, "Bisakah kau menyalakan api unggun itu?"
"Kenapa aku harus menyalakannya? Aku kan tidak kedinginan," jawab gadis itu.
Sambil tersenyum pahit, Ma Ji-liong berkata, "Kau tidak, tapi aku ya."
"Aku tidak kedinginan. Kenapa kau bisa kedinginan?" gadis itu berkata.
Ma Ji-liong tertegun. Gadis ini benar-benar gila, begitu gilanya sehingga dia bahkan tak bisa menangis biarpun dia ingin. Dia pun tidak bisa tertawa. Mendadak perutnya terasa kosong. Itulah nasibnya sendiri.
Tapi gadis itu melanjutkan lagi, "Orang muda harus tahan terhadap kesulitan dan kerja keras. Apa salahnya kedinginan sedikit? Kau masih muda. Jika kau tidak bisa menahan sedikit penderitaan, bagaimana kau bisa melakukan sesuatu yang besar di kemudian hari?"
Ma Ji-liong menutup mulutnya. Akhirnya dia sadar bahwa menjelaskan sesuatu kepada orang seperti ini bukan saja sia-sia belaka, tapi juga merupakan perbuatan yang bodoh. Bila seorang laki-laki bertemu dengan perempuan seperti ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menutup mata dan mulutnya.
Tiba-tiba gadis itu berpaling dan bergumam, "Apakah langit sudah cerah? Aku akan pergi melihat." Dia bicara pada dirinya sendiri sambil melangkah keluar pintu. Tapi tiba-tiba dia menjerit keras-keras dan berlari masuk kembali, seolah-olah sebatang anak panah sudah menancap di bokongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
PertualanganKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...