Kakek timpang yang cacat ini tak berbeda lagi dengan kebanyakan manusia, karena sekarang dia sudah mati, mayatnya rebah di bawah tikar yang disingkap Ji-liong.
Setiap orang akhirnya pasti mati. Orang mati sudah tentu sama, kaku dingin tidak bernapas lagi. Entah bagaimana dia mati, mati dibunuh, mati sakit atau kecelakaan, setelah dia mati, tubuhnya akan kaku menjadi mayat. Peduli di masa hidupnya dia seorang Enghiong, seorang Pendekar, perempuan cantik atau ratu sekalipun, setelah mati dia akan berubah dalam bentuk yang sama, sebagai mayat yang tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Namun dalam seribu satu kesamaan itu, ada satu perbedaannya. Perbedaan yang menyolok di atas mayat yang satu ini dengan mayat lain pada umumnya, walau kakek bungkuk lagi timpang ini sudah mati, namun sepasang tangannya saling genggam di depan perutnya. Seperti seorang budak miskin yang menggenggam kantong uangnya, harta miliknya yang dipertahankan dari rebutan pembunuhnya. Barang apakah yang tergenggam di kedua tangannya?
Perlahan Ma Ji-liong berjongkok, perlahan pula ia membuka genggaman tangan kakek timpang itu. Begitu jari tangan si kakek ia kendorkan dan terbuka, seketika air mukanya berubah pucat dan panik. Ternyata yang tergenggam di kedua tangan kakek cacat ini hanyalah sebutir batu, batu bundar hitam dan mengkilap sebesar buah duku.
Hanya di lembah mati ada batu hitam bulat dan mengkilap seperti ini.
Tanpa sadar Cia Giok-lun memekik seram, "Bu-cap-sah!"
Jikalau Bu-sap-sah yang datang ke mari, lalu di mana Toa-hoan?
Sudah tentu Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun tidak bisa menjawab teka-teki ini, malah menduga atau memikir juga tidak berani.
Satu persoalan kembali mengganjal dalam sanubari mereka. Rencana Ji Liok cukup rapi dan amat dirahasiakan, dengan cara apa Bu-cap-Sah dapat menemukan jejak mereka dan menyusul ke mari?
------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Semenjak jadi buronan, belum pernah Thiat Tin-thian dapat tidur pulas, demikian pula kali ini. Sebetulnya ia juga masih buron, tapi ia percaya akan rencana kerja Ji Liok, yakin bahwa kawan-kawan yang lain pasti dapat menanggulangi bersama segala persoalan. Badan agak segar setelah lukanya agak sembuh, namun setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya merasa penat juga, maka Thiat Tin-thian kali ini dapat tidur dengan nyenyak. Umumnya kawakan Kangouw seperti dirinya, bila ada kesempatan tidur, biasanya tidak akan disia-siakan, apalagi ia yakin persembunyian mereka di gedung ini cukup aman. Akan tetapi sebagai kawakan Kangouw, meski tidur nyenyak juga mudah terjaga oleh sesuatu gerakan atau suara lirih sekalipun.
Thiat Tin-thian terjaga oleh suara yang aneh. Waktu ia celingukan, ternyata Ong Ban-bu sudah tidak kelihatan, tikar yang disediakan untuk alas tidurnya juga ikut lenyap. Padahal kamar itu hanya ada satu pintu dan satu jendela, pintu dan jendela masih terpalang dari dalam, jelas tidak pernah disentuh atau dibuka orang. Tin-thian yakin tidak mendengar suara Ong Ban-bu membuka jendela atau pintu, apalagi daun jendela tertutup rapat dan terpalang lagi, tidak mungkin Ong Ban-bu memasang palang lagi dari luar jendela. Tapi persoalan sudah jelas, pintu dan jendela tidak pernah dibuka, namun Ong Ban-bu lenyap tak keruan parannya, cara bagaimana dia meninggalkan kamar ini?
Penjelasan yang paling benar adalah di kamar ini ada pintu rahasia, atau lorong bawah tanah. Dalam gedung besar milik hartawan kaya raya, tidak heran kalau dibuat juga pintu rahasia atau dinding berlapis, apalagi gedung ini dibangun sendiri oleh Ji Liok yang serba ahli.
Dengan pengalamannya Thiat Tin-thian tak mampu menemukan pintu rahasia ini, sudah tentu ia lebih heran dan bertanya-tanya lagi. Maklum Ong Ban-bu juga seperti dia, baru pertama kali datang ke tempat ini. Kalau ia tidak bisa menemukan rahasianya, dari mana Ong Ban-bu bisa menemukannya dan menghilang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AventuraKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...