Tubrukan nekat Thiat Tin-thian sebetulnya merupakan tubrukan mengadu jiwa dengan sisa tenaga terakhir, sergapan yang akan menentukan mati atau hidup. Thiat Tin-thian sudah bertekad mati, rela berkorban untuk menyelamatkan Ma Ji-liong, tetapi ia tidak mati, karena di saat tubuhnya terapung di udara, tahu-tahu tubuhnya malah tertarik mundur ke belakang.
Ternyata berbareng dengan tubrukan Thiat Tin-thian itu, Ma Ji-liong juga menubruk di belakangnya. Dengan kedua tangan ia cengkeram ikat pinggangnya serta menarik sekuat tenaga. Di sana Coat-taysu juga sudah siap menyambut tubrukannya, tapi ia tidak jadi melontarkan pukulannya.
Begitu suara merdu itu bergema, kabut pun datang, gerakannya pun terhenti, wajah yang semula kaku mendadak menunjukkan mimik aneh, romannya kelihatan ganjil.
Hanya sekejap Coat-taysu sudah tidak melihat Thiat Tin-thian lagi, kabut hijau itu seperti terhembus keluar dari mulut iblis raksasa, seakan-akan pekarangan kecil itu mendadak ditelan bulat-bulat. Kecuali kabut tebal itu, apa pun tidak terlihat lagi.
Lekas Ma Ji-liong membawa Thiat Tin-thian pulang kembali ke toko serba ada miliknya itu.
Coat-taysu dan kawan-kawannya juga tidak bisa melihat apa pun, sudah tentu mereka tidak berani sembarangan bertindak, demikian pula Ma Ji-liong yang seperti orang buta di tempat itu. Tapi sebagai penduduk yang sudah sekian bulan tinggal di daerah itu, sedikit banyak ia sudah hafal keadaan sekelilingnya, apalagi ia pernah beberapa kali dolan ke rumah To Po-gi. Maka Ji-liong tidak kuatir dirinya salah langkah seperti yang dikuatirkan Coat-taysu. Ia tidak takut dibokong, juga tidak takut menumbuk tembok hingga tulang patah dan kepala bocor. Seorang yang sudah berani mempertaruhkan jiwa raga, sudah siap berlaga dan mati di medan perang, lalu apa lagi yang ditakuti? Dengan leluasa Ji-liong sampai di rumah tanpa kurang suatu apa pun.
-----------------------------------ooo00ooo--------------------------------------
Umumnya kalau orang tidur agak dini tentu bangunnya juga lebih pagi. Penduduk kampung itu kebanyakan tidur sore-sore, biasanya begitu kokok ayam mulai bersahutan penduduk sudah banyak yang bangun. Begitu fajar menyingsing, toko serba ada itu juga sudah buka pintu.
Tapi hari ini agak berbeda, keadaan tidak seperti biasanya.
Dengan menggendong Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong melompat masuk lewat pintu samping. Sebelumnya ia sudah putar kayun keluar masuk lorong-lorong kampung yang sempit, jorok dan bau untuk menghilangkan jejak dari pengejaran musuh. Setelah yakin dirinya tidak dikuntit, langsung ia berputar ke belakang dan melompat masuk dari tembok belakang.
Begitu diturunkan, Thiat Tin-thian tampak lemah dan lesu, mirip orang lumpuh. Walau sergapannya tadi berhasil digagalkan oleh Ji-liong, tapi dia sudah terlanjur mengerahkan seluruh sisa tenaganya, kini tenaga seperti lepas dari badan sehingga sekujur tubuh terasa lemas lunglai.
Waktu Ma Ji-liong menyeretnya lari tadi, terpaksa dia menurut saja, padahal dia tidak bisa melupakan saudaranya, Thiat Coan-gi. Walau Thiat Coan-gi bukan saudara kandungnya, tapi selama beberapa tahun belakangan ini mereka berjuang bersama dan bertempur berdampingan, mati hidup juga harus bersama. Di antara dua saudara ini sudah terjalin ikatan batin yang kental, persahabatan yang kekal, lebih kental dibanding kentalnya darah.
"Aku tak boleh meninggalkan Coan-gi di sana," demikian desis Thiat Tin-thian waktu dirinya digendong Ma Ji-liong. "Kita harus kembali dan menolongnya juga."
Kalau saat itu putar balik bukan saja sudah tidak keburu, salah-salah jejak mereka bisa ketahuan musuh pula.
"Yang diburu Coat-taysu bukan dia," demikian bujuk Ma Ji-liong. "Sebelum kau jatuh ke tangan mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AdventureKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...