Bab 29: Perjamuan Besar

520 11 0
                                    

Meja perjamuan tidak kelihatan. Bahwasanya tiada meja perjamuan di luar rumah. Tanah kosong yang semula becek itu kini ditaburi batu-batu hitam mengkilap. Di tengah taburan batu hitam bulat mengkilap itu hanya ada sebuah dipan kecil yang terbuat dari kayu cendana berbentuk persegi, terukir indah seluas satu meter persegi.

Di bagian belakang dipan persegi dengan ukiran antik itu, berdiri dua tiang kayu setinggi satu meter. Tiang kayu untuk tempat sangkutan kelambu yang menjuntai turun. Seorang laki-laki tinggi gede bercambang dengan telanjang dada berdiri di belakang dipan sambil membusungkan dada. Dari tampang dan kalung bundar besar yang menggelantung di telinga kirinya, dapat diperkirakan bahwa laki-laki gede ini adalah bangsa Persia. Pengawal Persia ini bermata biru melotot bundar dengan topi pendek warna merah terbuat dari beludru, di pinggir kanan dihiasi pita biru yang melambai ditiup angin, jaket sutera pendek ketat tanpa kancing berwarna hitam disulam garis-garis benang emas tersingkap di bawah ketiaknya. Ikat pinggangnya lebar lagi tebal berwarna merah maron, tangannya memegang gagang golok melengkung yang terselip di pinggangnya.

Bu-cap-sah duduk di atas dipan berkasur empuk, berbantal dua dan berkopiah mewah seperti hartawan yang suka pamer kekayaan. Dari tampang dan sikapnya, orang ini tidak mirip orang yang sebatang kara atau anak yang tidak beribu bapak, bukan orang yang tidak punya she, wajahnya yang halus putih bersih pasti tidak mirip orang gila.

Roman muka laki-laki yang duduk di atas dipan itu putih, kalau tidak mau dikatakan pucat, tapi kelihatan tampan. Sikapnya lembut tapi gagah. Dari mukanya yang pucat itu, sukar orang menebak berapa usianya. Gerak-gerik dan senyumnya menarik simpati orang lain, apalagi berpakaian mewah dan mahal. Orang akan silau oleh dandanan dan sikapnya yang perkasa, sehingga tidak memperhatikan lagi usianya.

Mungkin meja perjamuan belum dipersiapkan, padahal tamu yang hadir sudah cukup banyak. Coat-taysu dah kawan-kawannya, seperti juga orang lain, mereka berdiri berkeliling di sekitar dipan kayu itu. Kecuali dipan atau ranjang persegi itu, hakikatnya tiada meja kursi di tempat itu, juga tiada benda apa pun untuk mereka duduk kecuali duduk bersimpuh di atas batu-batu bulat hitam itu.

Tapi setelah Thiat Tin-thian dan Ong Ban-bu beranjak keluar, laki-laki di atas ranjang dengan sikapnya yang sopan dan ramah mempersilahkan para tamunya untuk duduk. Lalu ia menoleh kepada pengawal Persia itu, katanya, "Menurut pendapatmu, apakah masih ada tamu-tamu lain yang akan datang?"

"Kurasa tidak ada lagi, sekian saja sudah cukup," sahut pengawal Persia itu.

Sekali lagi Bu-cap-sah yang sedang berbaring di atas dipan itu mengangkat sebelah tangannya menyilakan hadirin duduk. Kelakuannya persis seperti seorang cukong yang mengundang tamu-tamunya berpesta di restoran. Lalu dengan sikap dibuat-buat ia berkata, "Silakan duduk, silakan mencari tempat duduk. Sambil makan minum, boleh kita mengobrol." Orang pertama yang duduk ternyata adalah Coat-taysu. Ia maju selangkah lalu duduk di atas kursi yang sama sekali tidak ada, kursi yang tidak kelihatan. Pantatnya bergantung di udara, namun gayanya persis seorang yang duduk santai di atas kursi sungguhan. Sesuai wataknya yang kaku, sikap dan rona mukanya juga kaku, namun kepandaiannya memang mengagumkan. Kuda-kuda kakinya memang kokoh kuat. Dengan cara jongkok seperti itu, sedikit pun ia tak kelihatan payah atau lelah.

Setelah ada contoh, maka orang banyak lantas meniru perbuatan Coat-taysu. Mereka pun duduk bergaya seperti Coat-taysu. Hanya Thiat Tin-thian yang tetap berdiri tegak di tempatnya.

Bu-cap-sah berpaling ke arahnya, lalu bertanya dengan nada tinggi, "He, kenapa tuan tidak duduk?"

"Aku suka makan sambil berdiri," Thiat Tin-thian menjawab. "Makan sambil berdiri bukankah dapat gegares lebih banyak?"

"Masuk akal," seru Bu-cap-sah sambil keplok. "Nah, kalian juga harus makan lebih banyak. Hari ini sengaja aku siapkan hidangan istimewa. Ikan hitam dari Tang-hay, ikan terbang dari Pak-hay, sarang burung dan udang galah dari Lamhay, sate kambing dari kotaraja dengan panggang bebeknya sekalian, ikan asin dari Kanglam, kepiting goreng dari Tiangkang, dan masih ada lagi panggang sapi dan kambing bakar utuh. Kurasa hidangan ini cukup kusediakan untuk makan kenyang kita semua."

Darah Ksatria - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang