Bab 33: Malam Tragis di Gedung Besar

497 7 0
                                    

Kanglam Ji Ngo adalah pendekar besar yang terkenal, seorang cerdik, pelajar ternama, ilmu sastra maupun ilmu silatnya jarang ketemukan tandingan, pokoknya serba bisa.

Tapi berbeda dengan Ji Liok yang satu ini. Seperti apa yang ia katakan sendiri, kelihatannya mirip orang kasar, orang desa atau kampung yang bersahaja, kaki besar tangan kasar, hidup tenteram dan sederhana. Menilai wajahnya yang persegi, kelihatannya tak cukup pintar, namun bila tersenyum maka orang baru membayangkan wajah Ji Ngo melekat pada wajahnya juga.

Kini setiap orang mulai tertarik kepadanya. Semua merasa pribadinya tidak seperti lahiriahnya yang sederhana dan biasa. Banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepadanya, karena siapa pun ingin tahu lebih jauh siapakah dia sebenarnya.

"Kau belum pernah berkecimpung di Kangouw? Lalu apa kerjamu sehari-hari?" Ma Ji-liong bertanya lebih jauh.

"Kerja apa saja kulakukan," sahut Ji Liok. "Namun belakangan ini aku sering memborong bangunan, jelasnya sebagai pemborong bangunan."

"Kau ini tukang batu atau tukang kayu?" sela Toa-hoan.

"Tukang batu aku dapat bekerja, tukang kayu juga kulakukan, pokoknya kerja kasar yang halal dan dapat uang. Tapi dalam kerja besar ini aku hanya menggambar pola bangunannya saja."

Untuk membangun rumah harus dibuat pola gambarnya lebih dulu. Setelah pola gambarnya dilukis dan diperinci secara cermat, baru kerja dimulai. Berapa tinggi bentuk rumah itu, berapa dalam pondasi yang harus ditanam? Berapa pula sudut miring wuwungan yang akan dibentuk? Berapa berat kekuatan yang ditopang? Setiap sudut ruang pun harus diperhitungkan dan direncanakan lebih dulu. Setelah seluruhnya diperinci secara jelas, bangunan yang sudah dirancang dengan baik itu pasti terbangun dengan hasil yang memuaskan. Karena sedikit salah perhitungan, bukan mustahil rumah itu akan ambruk dan akibatnya tentu fatal.

Demikian pula untuk menggali lubang di bawah tanah, juga harus diperhitungkan arah, jarak dan letaknya. Sedikit melenceng, jalan keluarnya pasti meleset jauh dari titik yang sudah ditentukan. Demikian halnya dengan lorong bawah tanah yang digalinya itu. Bila melenceng sedikit dan keluarnya di luar toko serba ada, atau malah muncul di depan Bu-cap-sah, bukankah berarti ia menggali liang kuburnya sendiri. Celakanya adalah ketujuh orang di dalam toko juga ikut menjadi korban sia-sia.

Toa-hoan menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku tahu, kenapa engkohmu sengaja mengutus engkau untuk menggali lubang itu. Untuk menggali lubang panjang di bawah tanah seperti itu, jelas lebih sukar dibanding membangun sebuah gedung."

"Seorang diri aku takkan mampu menggali lorong sepanjang itu. Orang-orang yang duduk di dalam kereta yang tiga itu adalah pembantuku yang boleh diandalkan."

Jelas rencana kerja ini pun sudah diperhitungkan secara matang dan tepat. Saat datang orang-orang itu membantunya menggali lubang, waktu mau pergi dapat memancing Bu-cap-sah ke arah yang sesat, jelas setiap orang sudah mengembangkan daya kemampuannya.

"Tentunya mereka adalah orang-orang engkohmu yang diutus untuk membantu kau bekerja, betulkah mereka murid-murid Kaypang?" tanya Toa-hoan.

Siapa pun sependapat dengan pertanyaan ini. Ji Liok tertawa, katanya, "Mereka juga bukan murid Kaypang. Mereka adalah pembantuku yang biasa bekerja di bangunan. Sebagai pekerja bangunan, sudah layak bila mereka pun pandai menggali lubang."

Ji-liong melengak. Toa-hoan melenggong, demikian pula Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian bungkam, heran dan takjub.

"Kau sendiri yang membuat rencana kerja ini?" tanya Ma Ji-liong.

Ji Liok tertawa pula, katanya, "Kalau engkohku menyuruh aku bekerja, maka aku akan bekerja lebih baik dan nilainya tentu jauh lebih memuaskan."

-------------------------------------------ooo00ooo------------------------------------------------------

Darah Ksatria - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang