Bab 26: Daerah Mati

587 10 0
                                    

Berbeda dengan lazimnya, toko serba ada yang satu ini tidak mirip dengan toko yang lain. Di toko lain ada meja dan lemari kasir. Di sini hanya ada sejilid buku yang sudah lusuh dan luntur warna sampulnya dan sebuah meja kecil yang berlaci satu untuk menyimpan uang -- itulah meja kasir.

Ma Ji-liong menarik kursi lalu duduk di meja kasir. Dari tempat duduknya ia memperhatikan Thio-lausit.

Seperti biasanya Thio-lausit tetap lugu, reaksinya lamban, wajahnya jarang menampilkan mimik perasaan hatinya. Sekarang dia tetap dalam keadaan demikian. Kalau ada orang bilang dalam sekejap tadi dia mampu mengalahkan Ong Ban-bu yang tersohor sebagai jago nomor satu dari Hoay-lam, orang pasti tidak percaya.

Apakah wajahnya juga pernah divermak dengan tata rias Giok Ling-long dengan Giok-jiu-ling-longnya?

Siapakah dia sebenarnya?

Ada beberapa tokoh besar dalam Bu-lim ini yang mampu mengalahkan Ong Ban-bu dalam segebrak saja?

Lama Ma Ji-liong terpekur sambil memperhatikan orang ini. Mendadak ia membuka mulut memanggil nama orang, "Toa-hoan."

"Toa-hoan?" Thio-lausit tampak gelagapan, gerak-geriknya seperti orang linglung, "Kau minta Toa-hoan (mangkuk besar)? Mangkuk besar ada di dapur, apa perlu aku mengambilnya?"

"Tidak," sahut Ji-liong. "Toa-hoan yang kumaksud adalah nama seseorang."

"O, nama orang?"

"Kau tidak pernah melihatnya?"

"Toa-hoan yang pernah kulihat adalah mangkuk besar--bukan manusia."

Ma Ji-liong menghela napas, perlahan ia berdiri lalu menghampiri sampai di depan orang. Mendadak ia turun tangan, dengan dua jari telunjuk dan jari tengah ia mencolok kedua mata Thio-lausit.

Mata Thio-lausit segera terpejam. Hanya itu reaksinya. Kecuali kedua matanya, sekujur badannya tak memberi reaksi apa-apa.

Sudah tentu Ji-liong tidak menyerang sungguhan. Mendadak ia sadar bahwa dirinya adalah orang bodoh. Umpama Thio-lausit betul adalah orang jujur, betapapun tentu sudah tahu bahwa juragannya takkan turun tangan keji terhadap dirinya yang setia dan rajin bekerja, tiada alasan membuat dirinya cidera, sudah tentu ia takkan berhasil memancingnya mengeluarkan ilmu silat.

Ditanya tidak menjawab, dicoba juga gagal, lalu dengan akal apa baiknya? Di kala Ma Ji-liong sedang bingung, tidak tahu bagaimana ia harus bertindak lebih jauh, dilihatnya ada dua orang mendatangi dari ujung jalan kampung sebelah timur.

-------------------------ooo00ooo------------------------

Tok, tok, tok itulah suara sentuhan tongkat kayu yang beradu dengan tanah, dari kejauhan sudah terdengar jelas.

Yang datang ada dua orang, dua-duanya timpang, maka kedua orang ini memakai tongkat. Kalau dipandang dari jauh, badan bagian atasnya saja, kelihatan seperti terdiri satu orang.

Maklum wajah, pakaian, sikap dan bentuk tubuh mereka mirip satu dengan yang lain, seperti pinang dibelah dua, keduanya sama-sama memiliki kaki yang cacat, buntung dan tergantung di udara, betapa jijik dan jelek tampaknya.

Tapi rona muka dan sikap kedua orang cacat ini amat serius, sinar mata mereka dilembari keyakinan. Hanya ada satu perbedaan dari kedua orang ini, cacat kaki mereka yang satu di sebelah kiri, yang lain di sebelah kanan.

Melihat keadaan kedua orang ini, Ma Ji-liong lantas teringat kisah lama, kisah yang sudah lama tersiar luas di kalangan Bu-lim, yaitu dua tokoh besar yang sudah punya nama gemilang di masa silam. Di ujung utara Sing-siok-hay di puncak Kun-lun san, ada sepasang saudara kembar yang cacat badannya, mereka bernama Thian-jan dan Te-coat.

Darah Ksatria - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang