Ma Ji-liong akhirnya sadar. Kegaduhan sudah sirap, alam semesta seperti dilingkupi keheningan yang membeku. Kini Ji-liong rebah di atas ranjang besar itu, ranjang satu-satunya yang ada di rumah itu. Sejak beberapa bulan yang lalu, baru pertama kali ini ia rebah di atas ranjang.
Cia Giok-lun duduk di samping mengawasinya dengan rasa kuatir dan penuh perhatian. Di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua saja. Ma Ji-liong berusaha tersenyum, tapi senyumnya getir dan nyengir, segera ia bertanya, "Mana orangnya?"
"Orang siapa?" Cia Giok-lun balas bertanya.
"Orang-orang yang kutolong itu?"
Cia Giok-lun tidak menjawab, ia malah balas bertanya, "Tahukah kau siapa saja yang kau tolong?"
"Aku tahu," sahut Ma Ji-liong. "Thiat Tin-thian kembali bersama aku."
"Kecuali dia, masih ada siapa lagi?"
"Masih ada Coat-taysu," sikap Ma Ji-liong kelihatan tenang dan wajar. "Coat-taysu kembali bersama kami."
Cia Giok-lun malah emosi, serunya, "Sadarkah kau bahwa orang yang kau tolong adalah Coat-taysu?"
"Bagaimana aku tidak sadar?" Ma Ji-liong tertawa lebar. Kenapa ada sementara orang yang bisa tertawa di saat tidak pantas tertawa?
"Kau sadar?" Cia Giok-lun memekik sambil terisak. Ia tak dapat mengekang perasaannya lagi, suaranya melengking, "Kau sadar bahwa dialah yang menguber dirimu, orang yang hendak membunuhmu sehingga kau menjadi buronan yang kepepet dan menghadapi jalan buntu? Tapi kau masih mau menolongnya?"
"Yang kutolong adalah manusia," sahut Ma Ji-liong tegas. "Asal dia manusia, perduli siapa dia, tak boleh aku berpangku tangan melihat dia mati di tangan si gila itu. Perduli dia temanku atau musuh yang hendak menuntut jiwaku, sikapku takkan berubah, aku tetap menolongnya tanpa kecuali."
Cia Giok-lun menatapnya dengan pandangan aneh. Lama sekali baru ia bertanya, "Kau bicara jujur? Atau sengaja bermuka-muka di hadapanku?"
Ma Ji-liong tak menjawab, ia menolak memberikan jawaban.
"Kau betul-betul baik hati, kau tidak berpura-pura," desis Cia Giok-lun. "Tadi kau betul-betul mempertaruhkan jiwa untuk menolong mereka." Mendadak ia menghela napas, lalu lanjutnya, "Sebetulnya aku tidak percaya bahwa kau orang baik, tapi sekarang aku percaya."
----------------------------------------ooo00ooo--------------------------------------------
Sejak tadi Coat-taysu berdiri mematung di pinggir rak toko di pojok sana. Sejak ia masuk ke dalam toko serba ada ini, ia berdiri di sana, tidak pernah pindah atau bergerak, juga tidak bersuara, melirik pun tidak kepada orang lain. Tapi badannya penuh berlepotan darah, pakaian sobek, badan pun terluka. Tapi ia tetap bersikap tenang dan wajar, luka-luka juga tidak diobati, darah dibiarkan mengalir.
Masih ada dua kerabatnya yang tertolong bersama Coat-taysu. Kecuali Thiat Tin-thian, ada dua orang yang ikut mengeroyok di rumah To Po-gi itu, tapi kedua orang ini menganggap tidak pernah melihat Coat-taysu berada di dalam rumah itu. Sikap mereka seperti jijik, seakan-akan bila didekati Hwesio yang satu ini, maka mereka akan ketularan penyakit jahat yang bisa merenggut jiwa mereka. Sudah tentu mereka tahu orang-orang yang ada di toko ini adalah musuh besar Coat-taysu, jelas kedua orang ini takut tersangkut oleh permusuhan kedua pihak.
Coat-taysu tidak memperdulikan orang lain. Pandangannya kosong, ia berdiri menjublek mirip orang linglung.
Setelah hening sekian lama, tiba-tiba Toa-hoan bersuara lebih dulu, "Aku tahu, setelah kejadian ini hatimu pasti mendelu. Asal kau mau berada di sini, kami pasti takkan mengusirmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AdventureKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...