Kalau ada orang yang mau memborong dagangan, berarti jualannya laris. Dagang adalah dagang, kau punya barang apa, orang beli apa, apa yang orang ingin beli, kau harus menjualnya. Berapa banyak orang yang ingin beli, selama persediaan lengkap, kau harus melayaninya.
Tampak oleh Ji-liong, roman muka Thiat Tin-thian mulai berubah, Ji-liong sendiri juga merasakan air mukanya berubah.
Sayang ia tidak melihat roman muka Thio-lausit, namun ia mendengar Thio-lausit berkata, "Toko serba ada ini tidak besar, namun persediaan yang ada tidak kecil jumlahnya. Barang yang kami sediakan juga banyak ragamnya. Kau seorang diri mana mampu membawa sekian banyak?"
"Aku akan menyuruh orang bantu mengangkutnya dengan cikar," demikian jawab pemborong itu. "Kau sebut saja berapa harganya, aku akan bayar tanpa menawar, nanti akan kusuruh orang ke mari mengangkutnya." Suruh orang mengangkut, siapa yang akan disuruh mengangkut? Mengangkut barang dagangan? Atau mengangkut jiwa mereka?
Ma Ji-liong tetap tidak mau keluar menghadapi pemborong itu. Mendadak ia merasa adanya sesuatu yang ganjil. Ia yakin Thio-lausit yang ada di luar mempunyai akal untuk melayani dan menghadapi pemborong itu.
Didengarnya Thio-lausit sedang berkata, "Aku hanya pegawai toko. Urusan jual-beli dalam jumlah sebesar itu, tak berani aku memutuskan."
"Siapa yang bisa memberi keputusan?" tanya pemborong itu.
"Sudah tentu juragan kami," sahut Thio-lausit.
"Juraganmu ada tidak?"
"Ada di dalam, kau boleh masuk dan langsung bicara dengan beliau."
"Aku tidak mau masuk, suruh saja dia keluar."
"Lho, kenapa kau tidak mau masuk?"
"Kenapa bukan dia saja yang keluar?" sikap pemborong ini mulai kaku dan ketus.
Jawaban Thio-lausit lebih ketus lagi, "Karena dia adalah juragan. Perduli juragan besar atau juragan kecil, ia punya gengsi sebagai juragan."
Pemborong itu agaknya kurang senang, katanya, "Kalau dia tidak mau keluar, aku batal membeli."
Tiba-tiba Thio-lausit memberi pernyataan lantang, "Kau sudah datang ke mari, kau sendiri yang menyatakan akan memborong seluruh isi toko ini, sebagai laki-laki, bicara mengapa plintat-plintut," demikian tegur Thio-lausit. "Oleh karena itu, kau harus masuk."
Sepenuh perhatian Thiat Tin-thian mendengarkan percakapan mereka, sorot matanya menampilkan rasa ragu, seperti menyelidik dan mengingat-ingat. Suara percakapan Thio-lausit berdua tidak lirih, setiap patah kata terdengar jelas dari dalam, sebetulnya tidak perlu ia pasang kuping, apalagi mendengarkan dengan seksama. Agaknya ia sedang membedakan, berusaha mengenali suara pemborong itu, mungkin ia pernah mendengar atau kenal suara pemborong itu.
Ji-liong siap bertanya apakah ia tahu asal-usul pemborong itu, mendadak Thiat Tin-thian sudah berseru, "Ong Ban-bu!" Suaranya tegang dan panik, "Awas, kedua lengan pegawaimu itu."
Dalam Bulim hanya ada satu Ong Ban-bu, Hun-kin-joh-kut-jiu dan Tay-lik-eng-jiau-kang yang diyakinkan Ong Ban-bu menjagoi Kangouw, keculasan hati dan kegapahan tangannya serasi dengan ilmu silat yang ia latih, kedua ilmu tunggal itu dikuasai dengan sempurna dan terkenal tak pernah mendapat tandingan. Bila ia turun tangan, yang diserang adalah sendi tulang atau Hiat-to lawan yang penting dan mematikan, lawan yang terserang kalau tidak lumpuh seketika, cacat seumur hidup, jiwa pasti melayang.
Pemborong alias Ong Ban-bu yang berada di luar itu agaknya sudah turun tangan. Peringatan Thiat Tin-thian terlambat. Belum habis ia bicara, Ji-liong sudah mendengar suara tulang patah. Suara yang lirih, tapi cukup menusuk pendengaran, dari telinga langsung menusuk ke sanubari, menusuk perut meresap ke tulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Ksatria - Gu Long
AventuraKhu Hong-seng, Toh Ceng-lian, Ma Ji-liong dan Sim Ang-yap adalah empat pesilat muda yang sedang naik daun di dunia persilatan. Mereka berasal dari keluarga persilatan ternama dan kaya-raya. Di tengah hujan salju, mereka berkumpul di Han bwe-kok, seb...