[12]

2K 273 27
                                    

Saat waktu berlalu begitu cepat, pasti ada hal yang disesali dan ingin diulang kembali. Chaeyeon merasa dua puluh sembilan tahun hidupnya masih belum cukup untuk membuat dirinya dan orang lain bahagia. Hingga saat ini ia ingin kembali lagi jadi anak-anak yang innocent yang tidak akan memikirkan bagaimana permasalahan hidup orang dewasa. Kembali lagi saat dimana ia masih bisa bermanja-manja dengan ayah dan ibunya.

Terhitung sepuluh hari dari hari ini ia akan menghitung mundur sampai hari pernikahannya dengan Jaehyun tiba. Semua urusan resepsi pernikahan sampai hal terkecil seperti menyebarkan undangan sudah ada yang menghandle tanpa campur tangannya. Semuanya sudah diatur oleh ibu mertuanya. Mereka bilang sudah beres semua.

Namun masih ada yg belum beres pada dirinya. Meskipun Chaeyeon sudah dapat keyakinan saat Jaehyun bilang dia benar-benar bersedia bertanggung jawab penuh atas dirinya nanti. Masih ada rasa gusar yang kadang menyerangnya. Katakan Chaeyeon labil, ya, mungkin hampir seperti itu yang namanya sindrom pra-nikah. Saat ia sendirian, ia akan berpikir lagi kenapa dia ingin menikah, kenapa dia percaya pada Jaehyun, dan apa Jaehyun melakukan ini semua karena cinta. Ah, ini bukan sepenuhnya keinginan Chaeyeon, dia terjebak pada perjodohan dengan seseorang dari masa lalunya, seseorang yang jadi cinta pertamanya.

Dia juga sempat berpikir, Jaehyun tidak pernah lagi bilang kalau dia masih mencintai Chaeyeon. Jaehyun hanya bersikap menyebalkan di depan Chaeyeon. Like so much skinship, his smile and his unpredictable words. Semua kadang tampak membingungkan.

Chaeyeon hanya memandang roti isi selai strawberry di depannya tanpa menyentuhnya sama sekali. Sedangkan Bibi Han hanya menatapnya heran melihat gadis itu melamun padahal beberapa menit yang lalu Chaeyeon bilang dia sudah terlambat pergi ke tempat kerjanya. Bibi Han meletakkan segelas susu yang ia bawa di sebelah piring Chaeyeon, kemudian duduk di kursi kosong yang ada di depan gadis itu.

"Apa ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?" tanya Bibi Han.

Chaeyeon baru mengalihkan pandangannya pada wanita tua dihadapannya, "banyak, ada banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini. Bibi, apa memang seperti ini perasaan setiap gadis yang akan menikah?"

Bibi Han mengernyitkan dahinya, ia tahu Chaeyeon sedang gusar. Kemudian wanita itu meraih tangan Chaeyeon, mengusapnya pelan dan memberikan sebuah rasa hangat yang tersalur dari sana.

"Chaeyeon, bagi seorang gadis menikah berarti menyerahkan semuanya pada suaminya. Maka suami yang akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istri dan keluarganya," ujar Bibi Han. "Kau akan hidup dan membagi apapun yang kau miliki dengan suamimu untuk selamanya, maka menikahlah dengan seseorang yang bersedia untuk bertengkar, marah, merajuk, menangis bersama untuk selamanya. Bukan dengan orang yang hanya bersedia bersenang-senang saja."

Chaeyeon masih berusaha mencerna setiap perkataan Bibi Han. Ia terdiam dan berpikir lebih keras lagi, sedangkan Bibi Han hanya tersenyum melihat Chaeyeon.

"Dan yang paling penting menikahlah dengan orang yang menyayangimu dengan tulus apa adanya, apapun kelebihan dan kekuranganmu," kata Bibi Han lagi. Wanita itu lalu terkikik melihat wajah lucu Chaeyeon. "Bibi yakin Jaehyun bisa melakukan itu semua."

Wanita tua itu kembali mengusap jemari Chaeyeon sebelum ia beranjak ke dapur, dan meninggalkan Chaeyeon sendirian di meja makan. Gadis itu menghela napas dalam. Seharusnya dia merasa beruntung masih ada Bibi Han sebagai pengganti orang tuanya yang sudah membantunya kembali ke jalan pikiran kalau dia siap menikah. Mungkin kalau dia cerita kepada Yuju, gadis itu akan berkata sama dengan Bibi Han. Dan seharusnya dia juga mempertimbangkan lagi kepercayaan ayahnya dan kedua orang tua Jaehyun yang sudah mereka berikan kepadanya.

Entahlah, semuanya terasa campur aduk menjadi satu di dalam otaknya. Sialnya dia masih juga belum menemukan jawaban yang sebenarnya.

Meant To BeWhere stories live. Discover now