delapan

16.9K 990 13
                                    

Assalamualaikum...

Happy reading...


Elisa POV

Pagi ini membuatku terasa aneh, entah mengapa kejadian semalam membuatku tidak dapat tidur nyenyak. Benarkah keputusan ini menerima pinangan lelaki yang... Entahlah, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan lelaki itu.
Dia memang tampan, sangat tampan malah. Tapi kelakuannya yang membuatku terasa tidak nyaman, meskipun aku akui tidak dapat membenci kelakuannya, hanya terasa sedikit sakit. Apakah aku cemburu? Meskipun aku dulu sebelum berhijrah pernah melakukan kesalahan namun, ya Allah, ampuni hamba. Luka bertahun-tahun yang lalu masih terasa. Saat aku hilang arah aku bertemu dengan Mas Syarif, dia begitu baik, dewasa, bijaksana, sosok yang Mampun menambal kesakitan ku akan mantan kekasih ku dahulu.
Namun apa yang aku dapatkan? Dia memilih perempuan yang lebih baik, meski sampai sekarang dia belum menghubungi sekadar menanyakan kabar. Apa dia sudah melupakan aku begitu saja?

"Mbak, sedang apa?"

"Loh dek, kamu nggak sekolah ya?"

Kulihat adikku mengerutkan keningnya dan duduk di sampingku, saat ini kami sedang di ruang tamu.

"Ini minggu, Mbak. Mbak kenapa sih? Jangan kebanyakan nglamun. Calon pengantin dilarang melamun"

Aku berdecak.

"Mbak, aku mau kasih ini." dia mengulurkan undangan berwarna hijau, begitu cantik. Aku menerima dan tertegun saat membaca isinya.

"Ini beneran Mas Syarif?" tanyaku dengan bergetar.


Adikku langsung memelukku, dia pelindungku setelah ayah berpulang.

"Menangis lah Mbak" satu kalimat itu pertahankan hancurlah sudah. Aku tersedu-sedu. Ya Allah rasanya sakit, namun bukan sakit karena patah hati, lebih kepada rasa sakit karena kecewa. Kecewa kenapa bukan dia sendiri yang mengabarkan kabar gembira ini.
Demi Allah, meski aku kecewa namun tidak mungkin aku akan mengacaukan pernikahan mereka, sebegitu tidak berartinya aku untuknya?

"Berjanjilah Mbak, jangan lagi menangisi dia lagi . sudah cukup mbak nangis dan nunggu kepastian dia. Allah membuka mata mbak, dia bukan jodoh mbak" cecar adikku panjang lebar, meski adikku masih kelas sepuluh namun kadang dia lebih dewasa daripada aku.

Aku hanya diam dan masih terdiam di pelukannya. Dan untuk selanjutnya aku hanya mengangguk, adikku semakin mengeratkan pelukannya.

"Dek, kamu mau anter mbak kesana?"

Adikku langsung melepaskan pelukannya, memandangku tak percaya.

"Mbak yakin?"

"Fatan Milad Harun, jangan meremehkan Mbak. Mbak, hanya ingin memberikan ucapan selamat dan ikut berbahagia untuknya" ucapku sembari tersenyum meski air mata masih saja meleh dipipiku.

Adikku mengangguk dan segera bergegas, karena percayalah, acara pernikahan tinggal satu jam dari sekarang.

Aku masih tertegun di depan gedung majelis ini. Tempat ini penuh dengan kenangan, aku banyak belajar agama dan bertemu dengan lelaki pengisi hatiku hampir tiga tahun yang sekarang menjadi pengantin, dan mirisnya bukan aku yang jadi pendamping nya. Kurasakan tepukan halus dari adikku.

"Ayo mbak!" aku mengangguk dan berjalan disampingnya.

Disana banyak teman-teman yang sebagian aku kenal karena sebagian merupakan teman kuliah pasca sarjana.

Semua karena Allah(ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang