Chapter 9

218 76 52
                                    

Hari Jum'at minggu pertama, jadwal untuk membersihkan kelas masing-masing. Seperti perjanjian dua hari yang lalu, Sean menjemput Callista di halte dekat taman kota. Sebenarnya Sean membawa mobil untuk membawa peralatan kebersihan, tetapi karena jarak dari tempat parkir dan kelas cukup jauh, Sean meminta tolong Callista untuk membantunya membawa alat-alat yang lumayan berat itu.

"Agak berat nggak papa kan? Maaf ngerepotin," ucap Sean sewaktu membuka bagasi mobilnya.

"Nggak papa kok," jawab Callista.

Callista membantu Sean dengan membawakan tiga sapu sedangkan Sean membawa dua kemoceng, tiga kanebo, satu cairan pembersih kaca, dan dua pel. Jangan tanya kenapa Sean membeli sebanyak itu. Jika saja anak-anak kelas tidak merusaknya, Sean tidak akan membeli sebanyak itu.

Saat Sean membuka pintu kelas, dirinya dikagetkan dengan bola plastik yang menghantam wajahnya. Di depannya terlihat Rega sedang membelakanginya dengan membawa ember, Mario berdiri menghadap Sean dengan mulut sedikit terbuka, dan Alex memandang Sean dengan tatapan tak bersalahnya.

"Siapa yang ngelempar bola?" geram Sean dengan memandang ketiga temannya. Dan dengan serempak, Mario dan Rega menunjuk Alex.

"Kita lagi main basket kok! Mana tau gue kalo lo tiba-tiba aja buka pintu. Kan niatnya gue mau masukkin bola itu ke ember yang dibawa Rega," jelas Alex yang tetap tidak membuat Sean luluh.

Sean menghela nafas kasar. "Makanya! Main bola tuh di lapangan! Ini kelas, Alex! Untung aja yang kena gue, bukan Callista." Sean berjalan memasuki kelas diikuti Callista di belakangnya.

"Callista lo jadiin babu? Jahat bener lo. Ckckck liat, dia jalan di belakang lo seolah-olah lo adalah majikannya," sahut Mario.

Muka Sean memerah seketika. Antara marah dan juga malu. Pasalnya, dia juga baru sadar dengan fakta yang satu ini. Baru saja Sean ingin membalas perkataan Mario, Callista sudah memotongnya.

"Memang aku yang milih buat jalan di belakang Sean. Aku nggak mau semua cewek yang ada di luar kelas itu ngeliatin aku sinis gara-gara sering jalan bareng ke kelas sama cowok-cowok yang paling populer di sekolah ini." Callista menunduk dan menaruh sapu yang di bawanya ke lantai lalu berjalan menuju bangkunya di pojok belakang.

Diva menoleh pada Callista yang baru saja meletakan pantatnya ke kursinya. Memang Diva sudah sampai terlebih dahulu di sekolah. "Akting yang bagus," bisik Diva dengan pelan sampai nyaris tak terdengar. Tetapi Callista yang mempunyai pendengaran yang kuat mendengar ucapan Diva.

Callista tersenyum tipis. "Sebenernya bukan akting, gue nggak suka sama tatapan mereka yang seolah-olah ngelarang cewek yang nggak populer buat deket-deket para most wanted sekolah kita," balas Callista tak kalah pelan. Callista berdiri lalu membantu teman-temannya yang sedang membersihkan kelas.

Saat Callista menghapus papan tulis, Sean menghampirinya dengan tatapan bersalah. "Maafin gue," ucap Sean dengan memainkan jari-jarinya dan tentu saja menunduk.

"Buat?" tanya Callista heran.

"Buat tadi. Gue nggak sadar aja kalo lo di belakang gue. Gue terlalu egois sampai nggak merhatiin lo jalan di belakang gue." Sean semakin menundukkan kepalanya setelah mengatakan itu.

Callista menghela nafas lalu tersenyum. "Liat aku, Sean." Sean menurutinya dengan menatap kedua mata milik Callista. "Kan aku udah bilang kalo itu keinginan aku sendiri. Sebenernya, bisa aja aku jalan di sebelah kamu. Tapi aku punya alasan dan kamu sudah pasti tau alasanku dari perkataan aku tadi. Jangan salahin diri kamu sendiri," sambung Callista.

Sean tersenyum cerah. "Lo baik banget emang! Nggak salah kalo gue suka sama lo!" ucap Sean lalu memeluk Callista dengan erat seakan tidak ingin melepaskannya. Seperti tersadar dari ucapannya barusan, Sean melepaskan pelukannya dan menatap Callista. "Eh? Gu–gue gak ma–maksud. Bentar lagi pasti lo bakal jauhin gue," ucap Sean dengan terbata-bata dan memasang wajah memelasnya.

Classroom.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang